Renungan Minggu, 14 Agustus 2022
Kalau suatu hari mendengar kotbah dalam ibadah yang keras, menegur bahkan menyakitkan; ada beragam reaksi dari beragam orang yang mendengarnya. Ada yang menganggap isi kotbah itu sebagai angin lalu yang hanya lewat saja. Ada yang menangapinya dengan reaktif. Tersinggung dengan ucapan si pengkotbah, dan berakhir tidak berkenan untuk hadir kembali dalam pertemuan-pertemuan ibadah selanjutnya.
Beberapa yang lain mungkin berontak di dalam hatinya dan merenung sebagai bagian dari introspeksi diri. Dari yang menolak mentah-mentah atau menunjuk pada seseorang yang dirasa cocok untuk dikotbahi itu sampai mengintrospeksi diri sendiri. Itulah gambaran yang mungkin terjadi. Yang didengar adalah kotbah yang sama namun responnya bisa beragam. Tergantung keterbukaan hati pendengarnya.
Ada ilustrasi terkait respon kotbah di atas yaitu ilustrasi seorang gembala jemaat yang baru pulang perjalanan penginjilannya dan kembali ke tempar pelayanannya. Dia dijemput oleh salah seorang anggota jemaat yang sekaligus berkeluh kesah tentang apa yang terjadi pada tempat tinggalnya selama ditinggal gembalanya: “Bapak gembala, selama bapak pergi, desa tempat kami tinggal dilanda bencana banjir bandang, rumah kami hancur dan banyak diantara masyarakat yang kehilangan keluarganya.” Sang gembala segera merespon dengan menjawab: “Itu hukuman dari Tuhan dan tanda bahwa sudah saatnya kalian bertobat.”
Kemudian anggota jemaat meneruskan keluh kesahnya: “Tapi mohon maaf bapak gembala, yang saya dapati juga rumah pak gembala rata dengan tanah akibat banjir bandang tersebut.” Dengan sigapnya juga pak gembala itu merespon sekaligus merevisi jawabannya: “Oh, Tuhan pasti punya rencana yang indah dibalik semuanya itu.”
Seringkali kita hanya mau mendengar apa yang sedap didengar. Begitu juga dengan membaca Alkitab. Seringkali kita hanya mau membaca apa yang ingin kita baca, bukan apa yang harus kita baca. Yang sedap di telinga kita, bukan apa yang Allah mau kita baca dan dengar. Sehingga kita melewati bagian yang tidak sedap didengar, yang sulit dilakukan dan yang menimbulkan pertentangan.
Sejauh mana kita sungguh-sungguh berkenan menerima pengajaran Tuhan lewat firman-Nya yang seringkali menyakitkan, menampar dan membuat hati kita bergejolak menerimanya? Bacaan kita hari ini salah satu bacaan yang sulit diterima, namun sejauh mana kita mau menerimanya sebagai bagian dari pengajaran keras dari Tuhan? (Dian Penuntun Edisi 34).
Tinggalkan Balasan