Renungan Minggu, 15 September 2013
Kehilangan selalu menyedihkan. Entah itu barang kesayangan ataupun pribadi yang kita cintai. Kalau ada kemungkinan kita melakukan pencarian atas apa yang hilang itu, maka kita akan melakukannya. Dalam hal ini, biasanya kita akan lebih dulu berhitung di awal. Lebih baik mana, melakukan upaya ‘mencari yang hilang’ atau ‘beli saja yang baru?’ Masyarakat yang pragmatis pada masa kini lebih sering memilih yang kedua. Ada pemikiran untung-rugi di sana. “jangan-jangan, ongkos untuk mencari yang hilang itu nanti malah lebih besar daripada harga barang yang hilang itu.”
Prinsip ini tentu bertentangan dengan spiritualitas Kristen, yang mengajarkan kita untuk menghargai segala sesuatu, termasuk sesuatu yang tampak tidak berharga sekalipun. Salah satu pusat teologi Kristiani adalah ‘spiritualitas mencari’. Inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus adalah contoh terjelas. Bukankah ini adalah sebuah upaya Allah ‘mencari’ kita, sampai-sampai ia perlu repot turun ke dunia ini? Salah satu hal prinsip yang membuat Allah begitu peduli berupaya mencari kita adalah karena Dia tidak menganggap kita serendah ‘barang’.
Allah memposisikan diriNya sebagai Allah yang mengasihi, peduli dan mencari ‘mereka yang terhilang’. Ia bagaikan sang gembala yang mencari seekor dombanya yang hilang, seorang perempuan yang mencari dirhamnya yang hilang, tanpa mempedulikan berapa harga dan waktu yang harus dikorbankan. Sang gembala ini punya style yang berbeda dengan gembala-gembala kebanyakan. Kalkulasi untung rugi tidak menjadi yang penting bagi gembala yang satu ini. Cintalah yang mengerakkan diriNya untuk mencari domba yang hilang, meskipun cuma satu. Dan, pengenalan secara pribadi terhadap domba-dombaNya ini adalah hal penting bagi gembala yang satu ini.
Tinggalkan Balasan