Renungan Minggu, 19 Januari 2014
Viktor Emil Frankl adalah seorang neurolog dan psikiater yang berhasil selamat dari peristiwa Holocaust. Dia adalah pencipta “logotherapy”, yang dijelaskan secara singkat dalam bukunya yang menjadi best-seller: “Man’s Search for Meaning”. Buku tersebut menceritakan tentang peristiwa Holocaust dari sudut pandang seorang psikiater. Karena peristiwa Holocaust merupakan salah satu tragedy paling mengerikan dalam sejarah perbuatan manusia modern, maka buku itu banyak dibaca oleh orang-orang. Seperti apa hasil pemikirannya? Melalui pengalamannya terjebak di dalam kamp konsentrasi tersebut, Viktor Frankl menemukan suatu metode psikoterapi yang baru: manusia akan dapat terus bertahan hidup dengan peristiwa yang dialaminya. Dalam buku Man’s Search for Meaning, Viktor Frankl mengutip ucapan Friedrich Nietzsche: He who has a why to live can bear almost any how (Friedrich Nietzsche). Maksudnya, selama seseorang masih dapat memikirkan makna mengapa suatu hal terjadi terhadap dirinya, maka dia akan tetap terus mampu untuk mempertahankan eksistensinya. Ini sungguh menarik karena Frankl mengalami sendiri kondisi menderita yang teramat berat, namun dia tetap mampu bertahan hidup dan memikirkan masa depan.
Dari hasil observasinya yang tajam selama berada di kamp konsentrasi, Frankl menemukan 3 reaksi psikologis yang dialami oleh para tahanan:
1. Shock saat pertama kali masuk ke dalam kamp konsentrasi.
2. Apatis setelah mulai terbiasa dengan kondisi yang dialaminya (mereka hanya menghiraukan hal-hal yang berkaitan dengan bertahan hidup) dan
3. Depersonalisasi, kehilangan panduan moral, kepahitan, dan mulai mengkhayal tentang kebebasan.
Melalui observasinya juga, dia menyimpulkan bahwa makna hidup selalu dapat ditemukan dalam setiap momen kehidupan. Kehidupan akan selalu memiliki makna, baik dalam penderitaan maupun saat-saat kematian. Kesimpulan Frankl mengenai pentingnya memiliki makna hidup dan kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk bertahan hidup berasal dari pengamatan terhadap para tahanan yang pasrah dan kehilangan makna hidup. Biasanya, mereka akan berhenti melakukan kegiatan, hanya berbaring saja di tempat tahanan, lalu mati keesokan harinya. Itu semua karena mereka sudah menyerah menghadapi hidup yang tidak lagi memiliki makna bagi mereka. (Dian Penuntun edisi 17, hal 121-122).
Tinggalkan Balasan