Renungan Minggu, 6 September 2015
Berbela rasa (bahasa Inggris: compassion) adalah sebentuk sikap yang digerakkan oleh empati, turut merasakan pergumulan dan penderitaan sesamanya. Bela rasa lahir dari perasaan kasih, sehingga ia tidak akan membiarkan penderitaan menenggelamkan kehidupan sesamanya. Kasih mendorongnya keluar dari kenyamanannya menghadirkan diri sebagai sahabat, dan rela menolong mereka yang menderita.
Diskriminasi dan sikap membeda-bedakan, menjadi penghalang terbesar kita untuk dapat merasakan dan menghadirkan sikap bela rasa. Pembedaan membuat kita menempatkan sekelompok orang, untuk tetap berada di luar lingkaran kelompok, maka dapat dengan mudah kita menutup mata terhadap kesulitan dan penderitaan mereka. Kita merasa tidak bertanggung-jawab untuk terlibat didalamnya. Ironisnya, agama justru seringkali menjadi alat untuk menciptakan diskriminasi: yang satu merasa sebagai kelompok orang benar dan yang lain adalah kelompok orang sesat yang perlu ditobatkan; Ketika melihat orang lain di luar kelompok, selalu lahir sikap keras untuk menolak, mengusir dan mengabaikan mereka yang berbeda itu.
Kita hidup di tengah bangsa yang penuh keragaman. Seharusnya kondisi ini menjadi lahan yang amat subur bagi Indonesia untuk mengembangkan sikap bela rasa. Tetapi, sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Tindakan diskriminasi sangat menguasai kehidupan masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Sesama yang mengalami penderitaan dan kesulitan diperdebatkan, apakah ia berasal dari kelompok mayoritas atau minoritas. Penderitaan kelompok minoritas menjadi suatu kelaziman yang tidak perlu direspons; itu sudah menjadi nasib mereka. Manusia menjadi terasing dari penderitaan sesama; jarak itu semakin dipertegas, dipelihara, dan dialih generasikan.
Dalam situasi demikian, pemberitaan firman saat ini dapat menjadi momentum yang baik untuk mengkritisi sikap diskrimatif, dan menggerakkan umat untuk membangun sikap berbela rasa. Betapa indahnya, bila kehidupan yang kita perjuangkan bersama ini dibangun dalam sikap bela rasa, cinta kasih dan penerimaan; Tidak ada lagi mayoritas dan minoritas; yang ada adalah persekutuan umat manusia tanpa batas, yang bersedia memberi dirinya menjadi sahabat, agar perjalanan hidup terasa menyenangkan dan ringan untuk dilewati (Dian Penuntun Edisi 20).
Tinggalkan Balasan