Renungan Minggu, 5 November 2017
Sampai saat ini, korupsi masih menjadi salah satu persoalan pelik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Praktik korupsi atau suap-menyuap masih marak terjadi di berbagai tingkat birokasi, diberbagai lembaga dan perusahaan, baik milik pemerintah maupun swasta. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa praktik korupsi juga sering kita temukan di lembaga keagamaan (termasuk gereja) dan dilakukan oleh para anggota dan para pemimpin komunitas keagamaan (sekali lagi, termasuk gereja).
Harus kita akui bahwa menghentikan praktik korupsi tidaklah mudah. Kita masih sering menyaksikan upaya penegakan hukum bagi para pelaku korupsi yang kandas di tengah jalan. Ini karena praktik korupsi selalu melibatkan orang-orang yang memegang kekuasaan. Hubungan antara praktik korupsi dengan kekuasaan sangatlah erat. Praktik suap-menyuap sering dilakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan menjadi tujuan korupsi. Sebaliknya praktik suap-menyuap juga sering dilakukan untuk mempengaruhi keputusan si pemilik kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan memberi kesempatan untuk melakukan korupsi.
Dalam bacaan-bacaan Minggu ini, kita mendapati teguran dan kecaman yang keras kepada para pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya. Jika demikian, haruskah kita menjauhkan diri kita dari kekuasaannya. Jika demikian, haruskah kita menjauhkan diri kita dari kekuasaan dan menghindar dari posisi seorang pemimpin? Tidak! Bacaan-bacaan Minggu ini juga mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita memanfaatkan kekuasaan/otoritas kita sebagai seorang pemimpin untuk memuliakan Allah dan melayani sesama kita. Cara berpikir dan sikap seperti apakah yang harus kita terapkan untuk mewujudkan hal ini? (Dian Penuntun Edisi 24).
Tinggalkan Balasan