Renungan Minggu, 20 Oktober 2019
Setiap kali membaca Alkitab, seringkali mendapatkan pemahaman dan pengertian yang baru. Ini adalah pengalaman orang percaya ketika mempelajarinya. Selalu ada sentuhan baru pada beberapa teks. Ada salah satu yang menarik perhatian ketika membaca “karunia” selibat (1 Korintus 7:7). Tepatnya apa ini? Dan bagaimana hubungannya dengan perilaku seksual seseorang?
Dalam surat Korintus, ungkapan karunia ini dimulai dari berbagai aspek pernikahan. Misalnya, jika seorang pria belum menikah, tetapi memiliki dorongan seksual yang kuat, bagaimana ia dapat memuaskan kecenderungannya. Paulus adalah tegas menyarankan agar orang tersebut menemukan seorang istri. Tetapi bila orang tersebut belum menemukan calon istri yang cocok, hendaknya ia mampu mengusai dirinya untuk tidak jatuh dalam dosa percabulan.
Di bagian lain, Paulus juga berbicara tentang “kesusahan” (penganiayaan) yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, “lebih baik” untuk tidak terlibat dalam urusan perkawinan. Seseorang tentu saja “lebih berbahagia” jika dia tidak harus menyaksikan orang berharganya menderita penganiayaan. Dalam situasi seperti ini, Paulus berbicara tentang karunia tidak menikah.
Dari latar belakang ini, Paulus mengungkapkan harapan bahwa semua orang Kristen sama seperti dia, yaitu, dapat menjalani kehidupan selibat, mengingat kesengsaraan yang turun ke atas mereka. Namun, ia mengakui, “bahwa setiap orang memiliki karunia dari Allah, seorang dengan yang lain berbeda.
Bagi rasul Paulus, karunia selibat adalah sebuah karunia pengendalian diri. Keselamatan adalah anugerah Allah, tetapi setiap orang menjalankan anugerah itu dengan sebuah kepatuhan kepada Kristus (Ibrani 5:9) tidak hanya sebagai pemberian tanpa syarat. Pertobatan dikatakan sebagai hadiah dari Allah (Kisah Para Rasul 11:18) Tuhan memberikan Beberapa “karunia” kepada beberapa orang Kristen, untuk tujuan Tuhan (Roma 12: 6-8). Selibat seumur hidup adalah hadiah bagi sebagian orang, tetapi tidak semua orang.
Kebanyakan orang dewasa berhasrat untuk menikah dan keluarga adalah bagian penting dari rencana Allah bagi umat manusia. Namun, ada orang orang tertentu hidup selibat setidaknya untuk beberapa waktu, sedangkan untuk yang lain mungkin berlangsung beberapa dekade dan untuk orang lain seumur hidup mereka.
Yesus Kristus dan rasul Paulus memperjelas bahwa tujuan dari apa yang disebut karunia selibat adalah agar orang tersebut dapat fokus dalam melakukan pelayanan bagi kerajaan Allah. Sementara seseorang yang dipercayakan Tuhan suatu periode selibat akan diperlengkapi untuk menjalani kehidupan tunggal, orang itu mungkin masih mengalami godaan seksual atau keinginan untuk keluarga. Tetapi Tuhan memberi mereka kendali diri dan untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara lain. Tidak masalah situasi hidup kita, yang terpenting adalah untuk terus mencari pimpinan Tuhan dan bersandar pada-Nya, mencari bimbingan dan hikmat Allah dalam memutuskan menjalani kehidupan ini. Mungkin Tuhan memberi karunia selibat untuk sementara waktu atau seumur hidupnya bagi beberapa orang.
Gereja Katolik dan beberapa denominasi Protestan membutuhkan imam atau pemimpin gereja untuk hidup selibat. Di sisi lain, beberapa denominasi Protestan mengharuskan para pemimpin gereja untuk menikah. Namun, Alkitab mendukung para pemimpin lajang dan menikah. Para pemimpin lajang memiliki keuntungan karena tidak terbagi antara tanggung jawab mereka kepada keluarga mereka dan pelayanan mereka di gereja (Matius 19:12). Namun, lebih baik bagi beberapa pemimpin untuk menikah, karena mereka tidak memiliki karunia selibat. Pernikahan melindungi kemurnian seksual mereka dan juga memberi mereka pasangan dalam pelayanan mereka (1 Timotius 3:12). Jadi, apapun pilihan hidup seseorang, yang terpenting ada Tuhan di dalamnya dan namaNya dipermuliakan. (Ev. Lantina Sentosa).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- PKJ 7:1-3
- PKJ 288:1-3
- PKJ 127:1-2
- PKJ 164:1-3
- PKJ 153
- NKB 48:1-2
Tinggalkan Balasan