Renungan Minggu, 17 November 2019
Di tengah hidup yang tak pernah steril dari penderitaan, orang percaya senantiasa berhadapan dengan dua pilihan: kehancuran ataukah ketahanan. Di antara kemiskinan dan gaya hidup konsumtif, merebaknya kekerasan, korupsi, ketidakadilan, retaknya relasi keluarga, ada saja perilaku keagamaan yang sempal, fatalis, sinis, intoleran, bahkan radikalis.
Dalam pergulatan hidup yang demikian, ada godaan untuk mengambil kesimpulan prematur yang membuat langkah iman kita terhenti, yakni menilai bahwa sekaranglah akhir dunia. Kesimpulan itu bisa saja membuat orang percaya mengalami kelumpuhan dan gagal untuk terus memperjuangkan kasih, keadilan, dan damai sejahtera.
Iman yang lumpuh tentu hanya akan menambah derita kehidupan. Dampaknya, kekristenan akan kehilangan daya transformasinya; malah akan menjadi bagian-bahkan sumber persoalan kehidupan. Jika sudah demikian, mimpi menjadikan Kristus Raja dan menjadi mitra Allah dalam menghadirkan damai sejahtera akan pupus ditelan oleh gelombang hidup.
Kenyataan bahwa tiada kejayaan yang abadi itu sesungguhnya telah digemakan oleh para nabi dan oleh Kristus sendiri, serta telah dialami oleh gereja pada masa lampau. Gereja hidup dalam gejolak zaman yang datang silih berganti; karenanya para murid Kristus diminta untuk bersiap, teguh, tetap setia, dan tetap berpengharapan.
Kesulitan, derita, kritis politik, keagamaan, dan kemanusiaan akan terus terjadi. Namun, itu semua bukanlah akhir segalanya, sebab justru dari sanalah menyeruak semangat berselancar di deru gelombang hidup bersama dengan Kristus. (Dian Penuntun Edisi 28).
Tinggalkan Balasan