Renungan Minggu, 27 Oktober 2013
Pada masa kini, teknologi yang berkembang membuat banyak orang memiliki Alkitab elektronik, sehingga di dalam kebaktian-kebaktian pun (mulai) terlihat orang-orang dengan cepatnya membuka aneka gadget dan membaca Alkitab dari dalamnya. Tetapi, saat khotbah berlangsung, apakah setiap kepala yang tertunduk menghadapi gadget dapat kita pastikan sedang membaca Alkitab atau mengetik ringkasan khotbah di dalamnya? Terkadang, respon ekstrem bisa dua macam: orang tak peduli, dan orang terganggu karena curiga bahwa bukan Alkitab yang dibuka pada saat itu. Maka, kita akan mengembalikan pengalaman itu kepada kesadaran diri, bukan? Nah, kesadaran diri dalam penghayatan iman, itulah yang akan kita renungkan di minggu ini.
Iman dan perbuatan merupakan dua sisi spiritualitas yang saling berkaitan, seperti sisi-sisi sebuah koin (lihat Yakobus 2:22). Iman diekspresikan melalui perbuatan, dan perbuatan menjadi bernilai dengan dasar iman. Perbuatan iman dapat merupakan berbagai praktik kehidupan bersama orang lain, di hadapan Tuhan maupun secara personal. Setiap perbuatan baik kepada orang lain, misalnya, merupakan contoh perbuatan iman. Tetapi, juga ritual-ritual iman yang kita lakukan, seperti berdoa dan beribadah. Semua itu sama baiknya. Tetapi, kemudian patut kita renungkan, ketika kita melakukan praktik iman, maka iman seperti apa yang kita hidupi?
Dalam Matius 7:1 dituliskan: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Ketika kita berhadapan dengan orang-orang lain dengan tiap praktik atau perilaku hidup yang berbeda-beda dan beragam dengan kita, seberapa pun berbedanya mereka dengan kita, kita mau belajar mempraktikkan kerendahan hati: tidak menghakimi. Setiap orang memiliki penghayatan dan cara yang berbeda dengan kita. Tetapi juga, pada saat yang bersamaan, kita belajar merendahkan hati: koreksi diri; Kita belajar bagaimana penghayatan iman yang kita miliki merupakan cara kita untuk: “perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif…” (Efesus 5:15)
Dengan demikian, spiritualitas yang kita hidupi bukanlah spiritualitas persaingan atau pertandingan dengan orang lain, melainkan spiritualitas persaingan dan pertandingan dalam diri, antara kehendak melakukan yang baik dengan praktiknya.
Setiap praktik iman yang lahir dari penghayatan iman, dikembangkan dalam situasi tanpa pamrih, serta kerinduan untuk tetap melakukan apa yang benar, dan terus mengembangkan apa yang baik. (Dian Penuntun edisi 16, hal 251-252).
Tinggalkan Balasan