Renungan Minggu, 22 Maret 2015 – Prapaskah V
“Yang mempertahankan nyawa akan kehilangan nyawa” merupakan pernyataan yang kontroversial, atau lebih tepatnya, paradoksal. Pernyataan ini memberi kesan penyimpangan dari yang normal. Secara naluriah, mahluk hidup akan berjuang untuk survival. Karena itu, apa saja, atau siapa saja, akan melawan kalau nyawanya terancam. Mereka ingin (sebisanya) terus hidup. Dan mereka yang berjuang keras mempertahankan nyawa, cenderung akan lebih mampu bertahan hidup ketimbang mereka yang daya juangnya lemah.
Namun, kehidupan yang tampak paradoksal ini juga dijalani oleh Tuhan Yesus sendiri. Walaupun Dia berkuasa atas maut, Tuhan rela menyerahkan nyawaNya. Walaupun Dia penuh kasih dan tak pernah melakukan kesalahan, Tuhan rela mati disalib seperti layaknya seorang penjahat besar. Tuhan lakukan semua itu demi misi untuk menyelamatkan manusia yang berdosa dan terpisah dari Allah. Dia mati untuk menebus manusia yang berdosa. Kematian dan penderitaanNya memberikan hidup baru kepada banyak orang yang percaya kepadaNya.
KematianNya juga paradoksal. Tiga hari di kubur, Tuhan mampu bangkit. KematianNya sekaligus menjadi jalan bagi kemuliaanNya. Setelah menyelesaikan tugasNya, Dia dimuliakan Allah Bapa. Dalam kematianNya, Dia seperti kalah. Tetapi, kemudian ternyata Dia Menang. KemenanganNya mengejek maut: “Hai maut, di manakah sengatmu…”. Lewat pernyataanNya, Tuhan meminta umatNya agar juga berani berkorban untuk melakukan tugas panggilan Tuhan, dan berjuang untuk kesejahteraan sesamanya. Mereka yang tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi yang melayani Tuhan dan rela berkorban demi nama Tuhan, akan mendapatkan hidup yang kekal. (Dian Penuntun edisi 19, halaman 201 – 202).
Tinggalkan Balasan