Renungan Minggu, 23 Juni 2013
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima dan menyampaikan wahyu-Nya. Di dalam kitab Perjanjian Lama, kata nabi diterjemahkan dari kata Ibrani, navi (=nabi, Kejadian 20:7; Mazmur 105:15) atau ro’eh (= pelihat, 1 Samuel 9:9). Menurut tradisi deuteronomik dari pertengahan abad ke-6 SM, nabi adalah manusia yang berwenang berbicara langsung dengan Allah, dan yang mengerjakan tanda-tanda dan “mukjizat-mukjizat” (Ulangan 34:9-12) dan yang melihat ke masa depan (Ulangan 18:18). Pada praktik sehari-harinya, nabi berperan di dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan untuk menyerukan amanat dan pesan Tuhan dalam rangka menyatakan kehendak-Nya. Isinya berupa berita penghiburan dan pengharapan, nasihat dan nubuatan, kritikan, dan kecaman.
Para nabi dihadirkan Tuhan dengan tujuan menyatakan kehendak dan kedaulatan Tuhan. Mereka dipanggil untuk mengampu pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Mereka berkarya dan berkiprah dalam rangka menolong dan mengarahkan kehidupan umat agar selaras dengan pimpinan dan kehendak Tuhan. Para nabi bertugas meluruskan dan menjaga eksistensi kehidupan umat. Melalui sentuhan suara para nabi, umat “dipaksa” untuk selalu dapat mencitrakan dan menceritakan berbagai kebaikan dan kemuliaan Tuhan.
Dalam konteks ini, pada umumnya para nabi cukup diterima dengan terbuka, sekalipun pernyataan-pernyataan mereka menakutkan dan tidak disukai. Namun demikian, kadang-kadang mereka juga menerima sungut-sungut dari umat (Keluaran 16:2), juga diancam (Yeremia 26:8; Amos 7:10-13), atau dianggap sepi (Yesaya 6:9). Realita pelayanan kenabian ini menegaskan bahwa konsekuensi panggilan menyerukan suara kenabian tidak pernah dapat dilepaskan dari pengalaman suka dan duka.
Di dalam konteks sejarah kehidupan umat, kitab Perjanjian Baru juga mencatat karya dan kiprah para nabi (Yunani: propheton) yang mempunyai tugas khusus (Efesus 2:20), dan mereka itu dapat ditelusuri sampai ke belahan kedua dari abad kedua Masehi. Sesudah itu, tak dijumpai lagi keberadaan, karya dan kiprah para nabi. Suara dan seruannya pun tak lagi terdengar.
Pada masa kini, urgensi pelayan dan suara kenabian masih sangat dibutuhkan. Pokok-pokok tugas panggilan para nabi masih sangat relevan dan aktual pada situasi jaman sekarang. Siapa yang akan melakukannya pada saat ini? Jika pada masa lalu, suara Tuhan dipercayakan kepada para nabi, maka pada saat itu suara Tuhan dipercayakan kepada umat-Nya. Secara terus menerus, umat dipanggil untuk memahami dan mengisi panggilan menyuarakan kehendak-Nya. Secara teologis, misi suara kenabian ini, pada momentumnya akan merefleksikan keterbukaan dan kesediaan umat untuk meretas jalan bagi terwujudnya isi Doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus, “Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu. Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga”. Matius 6:10. (Dian penuntun edisi 16).
Tinggalkan Balasan