Renungan Minggu, 20 Maret 2022
Niko Tinbergen, ilmuwan negeri Belanda pada tahun 1940 mengadakan serangkaian eksperimen yang membuahkan Penghargaan Nobel. Tinbergen meneliti perilaku burung camar herring. Camar herring dewasa mempunyai titik merah kecil pada paruhnya. Tinbergen melihat hubungan titik merah pada paruh itu dengan perilaku anak-anak burung yang baru menetas.
Anak-anak camar herring yang baru menetas itu akan mematuk titik merah itu setiap kali mereka lapar. Untuk memulai eksperimennya. Tinbergen membuat sekumpulan paruh tiruan dari karton, hanya kepala, tanpa badan. Ketika burung-burung dewasa pergi mencari makan, ia mendekati sarang dan menyorongkan paruh tiruan itu kepada bayi-bayi burung. Paruh itu jelas-jelas terlihat palsu, jadi ia mengandaikan bayi-bayi burung itu akan menolaknya mentah-mentah.
Namun apa yang terjadi? Ketika bayi-bayi camar itu melihat titik merah pada paruh karton, mereka mematuk-matuk seperti yang biasa mereka lakukan terhadap paruh induk mereka. Mereka memiliki prefensi yang jelas terhadap bitnik – seakan preferensi itu telah diprogram secara genetic sejak mereka lahir.
Tidak lama kemudian Tinbergen mendapati, makin besar bitnik merah, makin cepat bayi camar itu mematuk. Akhirnya, ia membuat paruh dengan tiga bitnik merah besar di bagian atas Raksinya? Bayi-bayi burung itu semakin antusias menyambut, seakan mendapatkan paruh paling besar yang pernah mereka lihat. (James Clear, Atomic habit).
Titik merah pada paruh camar harring dewasa adalah tanda untuk bayi-bayi mereka memperoleh makan, tidak peduli apakah tanda itu sungguh-sungguh paruh induknya atau tanda palsu, mereka akan menganggapnya sama. Hal yang kurang lebih sama dengan perilaku manusia dari dulu sampai sekarang, memandang kecelakaan tragis, bencana, sakit penyakit dan penderitaan dilegitimasi sebagai pertanda bahwa orang yang mengalaminya punya dosa atau kesalahan tertentu. Semakin tragis penderitaan, maka dipahami semakin besar dosa seseorang itu. Penderitaan adalah hukuman dari dosa!
Yesus memandang bencana dan penderitaan alih-alih sebagai pertanda orang berdosa dan menghakiminya, Ia menggunakannya sebagai cermin untuk setiap orang berbenah diri. Bertobat! Tobat yang bukan sekedar latah ucapan di bibir, melainkan menghasilkan buah yang nyata. (Dian Penuntun Edisi 33).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- KJ 160:1-2
- Tak Dapat Kami Pahami Caramu
- KJ 35:1,3
- Mazmur 63:1-8
- KJ 450:1,3
- PKJ 239:1-2
Tinggalkan Balasan