Renungan Minggu, 18 April 2021
Epictetus, seorang Filsuf, perah menukas. “Jangan menyebut dirimu sendiri seorang filsuf, atau menggembar-gemborkan teori-teori yang kamu pelajari. Karena domba tidak memuntahkan lagi rumput kepada sang gembala untuk memamerkan banyaknya rumput yang telah dimakannya, tetapi domba mencerna rumput tersebut di dalam tubuhnya, dan ia kemudian memproduksi susu dan bulu. Begitu juga, janganlah kamu memamerkan apa yang sudah kamu pelajari, tapi tunjukkanlah tindakan nyata sesudah kamu mencernanya.”
Ungkapan Epictetus ini adalah teguran keras bagi kita yang seringkali hanya sibuk mewacanakan hal-hal baik dan gagasan-gagasan positif tanpa mewujudkannya secara sungguh-sungguh dalam tindakan yang nyata. Sebagian dari kegagalan-kegagalan dalam hidup kita terjadi bukan karena kita tidak tahu apa yang baik dan perlu. Melainkan karena kita hanya merencanakan yang baik, tetapi tidak bergegas melaksanakannya.
Demikian pula halnya ketika bicara tentang pertobatan dan pengampunan. Jika ia hanya sebatas rencana dan wacana, maka kehidupan yang lebih baik hanyalah angan-angan. Pertobatan seharusnya lebih dari sebuah penyesalan atas tindakan yang salah. Mereka yang sungguh bertobat mewujudkannya lewat perubahan cara berpikir, cara bersikap dan laku hidup.
Bacaan Injil hari ini memperlihatkan bahwa murid-murid Yesus mendapat mandat untuk memberitakan pertobatan dan pengampunan. Pemberitaan yang terbaik adalah melalui keteladanan. Dalam bukunya Transforming Church, Kevin G. Ford menyebutkan bahwa ada lima indikator untuk menilai sebuah gereja dikatakan sehat atau tidak sehat. Dua dari lima indikator itu terkait dengan bagaimana hubungan gereja bersama komunitas lokal dan bagaimana gereja menyikapi perubahan maupun masa depan.
Gereja yang tidak sehat adalah gereja yang menarik diri dari dunia di sekelilingnya, menghindari perubahan dan menghadapi masa depan dengan ketakutan. Sebaliknya, gereja yang sehat fokus melakukan misi mulai dari komunitas lokalnya. Terhadap perubahan, gereja yang sehat justru berani merangkulnya. Sekalipun upaya untuk bertransformasi itu menyakitkan. Namun, itulah yang perlu dilakukan gereja jika hendak memberitakan pertobatan dan pengampunan. Perkataan barangkali dapat menggugah. Namun, keteladananlah yang mengubah.
Gereja yang bertumbuh adalah gereja yang tidak hanya membicarakan pertobatan dan pengampunan, melainkan yang mewujudkannya secara nyata dalam setiap karya pelayanannya. Oleh karenanya kita perlu mengevaluasi kehidupan bergereja. Kita rindu gereja terus bertumbuh dan melakukan perubahan yang diperlukan.
Namun, dari setiap diskusi dan pembahasannya dalam rapat maupun persidangan gereja apakah semuanya sungguh mewujud dalam aksi nyata? Atau malah hanya mengendap menjadi wacana yang tercatat rapi dan tersimpan di dalam laci? Gereja perlu memberitakan pertobatan dan pengampunan melalui keteladanan. Sebab gereja yang mentransformasi sekitarnya adalah gereja yang bersedia mentransformasi dirinya. (Dian Penuntun Edisi 31).
Tinggalkan Balasan