Renunga Minggu, 11 November 2018
Banyak orang berpikir bahwa persembahan hanyalah pemberian sukarela buat Tuhan dan tidak pernah dipersoalkan apa motivasinya dan bagaimana sikap yang benar dalam memberikan persembahan tersebut. Oleh karena itu, tanpa disadari, kerap kali persembahan diberikan kepada Tuhan tidak didasarkan pada motivasi dan sikap yang tulus, penuh syukur dan percaya akan pemeliharaan Tuhan yang selalu mencukupkan.
Hal ini tampak dari keinginan orang itu untuk mencantumkan nama atau inisialnya demi mendapatkan pujian dari orang lain, sekalipun kerap dibungkus dengan alasan akuntabilitas. Begitu juga ketika ia memberi persembahan yang banyak, namun mengharapkan agar ia didoakan supaya dilimpahi berkat yang lebih banyak, segala keinginannya dikabulkan oleh Tuhan, dan ia dibersihkan dari dosa yang terkait dengan cara hidupnya yang salah dalam memperoleh penghasilannya.
Hal lain yang sering terjadi juga dalam pemberian persembahan kepada Tuhan adalah sikap yang menganggap persembahan itu adalah pemberian uang sisa dari penghasilan kita setelah dipotong oleh berbagai kebutuhan kita, serta pemberiannya hanya bersifat spontanitas, tanpa perencanaan dan bukan merupakan prioritas dalam hidup kita.
Hal ini nampak jelas dari pemberian persembahan bulanan atau persembahan khusus lainnya yang tidak pernah dipersiapkan lebih dulu dari rumah, dan kerap hanya merupakan persembahan spontan dari isi dompet kita, yang telah dipertimbangkan dengan pengeluaran lain yang mesti dikeluarkan pada hari itu.
Seharusnya kita menganggap persembahan sebagai bagian dari prioritas utama dalam menganggarkan keuangan pribadi atau keluarga kita sebagai wujud dari ungkapan syukur dan dedikasi kita kepada Tuhan. Oleh karena itu kedua kisah tentang janda miskin, dalam kedua bacaan kita minggu ini, yang belajar memberi (persembahan) bagi Tuhan berdasarkan pada apa yang ada pada mereka sebagai wujud penyerahan diri, ketaatan, dan ungkapan syukur kepada-Nya, menarik untuk digumulkan. (Dian Penuntun Edisi 26).
Tinggalkan Balasan