Renungan Minggu, 7 Oktober 2018
Di dunia patriarkhal, posisi dan kedudukan seorang perempuan rendah. Pada titik yang ekstrem dalam pandangan kita sekarang, kedudukan kaum ini tidak hanya ditempatkan di bawah kaum lelaki, tetapi kaum perempuan ini seringkali dianggap sebagai benda. Sebagai ‘benda’. Kaum perempuan adalah “properti” laki-laki. Padahal sebagai manusia ciptaan Allah, lelaki dan perempuan adalah makhluk yang sederajat.
Posisi kaum perempuan yang lemah ini terbawa dalam urusan perkawinan. Di dalam rumah tangga, kedudukannya sebagai istri juga tidak setara dengan suaminya. Suami tidak hanya menjadi kepala rumah tangga, tetapi juga menjadi “pemilik” istrinya. Istri harus tunduk kepada suami, seperti seorang hamba kepada tuannya. Di daerah tertentu, bahkan sampai sekarang, walau hanya sebagai joke-, seorang istri disebut “tiang/komcowingking” (bahasa Jawa, artinya orang/teman belakang), atau “baturhees” (bahasa Sunda, artinya teman tidur). Kebanyakan dari kita sekarang, baik kaum lelaki maupun perempuan, tampaknya akan merasa risih atau jegah terhadap istilah terakhir itu.
Tuhan Yesus menyatakan kembali bahwa perceraian tidak dikehendaki Allah. Mengacu pada kisah penciptaan manusia, Tuhan menyatakan bahwa sejak semula Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, lalu bersatu dengan istrinya dan menjadi sedaging. Keadaan seperti ini adalah kehendak Allah. Karena itu, manusia tidak boleh menentangnya.
Seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya. Karena itu, ikatan pernikahan harus diperkuat sehingga tidak rawan perceraian. Harus juga diusahakan bersama agar pernikahan itu memberikan kebahagiaan bagi semua pihak. Tidak mudah mencapai keduanya. Itu semua hanya dapat diusahakan dengan campur tangan Tuhan, dan dengan ketundukan pada apa yang dikatakan firman Tuhan. (Dian Penuntun Edisi 26).
Tinggalkan Balasan