Renungan Minggu, 11 April 2021
Saat merasa tidak aman, orang akan berusaha mencari perlindungan. Melakukan apa saja untuk memproteksi dirinya. Orang yang takut rumahnya didatangi pencuri, akan memastikan pintu rumahnya terkunci dengan baik. Jika perlu, pasang alarm anti maling. Orang yang takut perusahaannya mengalami kerugian finansial karena berbagai hal di masa depan, akan mengasuransikan perusahaannya. Orang yang takut akun pribadinya diretas akan memproteksi akunnya dengan password yang rumit. Orang yang takut dengan komentar netizen akan menutup kolom komentar di postingan-Nya.
Isu keamanan akan tetap mewarnai kehidupan manusia. Media setiap hari menyuguhkan berita tentang perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, atau kejahatan perang. Belum lagi ancaman-ancaman lain seperti kerusakan alam, virus penyakit yang konon dapat dijadikan senjata biologis dan lain sebagainya. Bahkan saat ini, untuk menjadi korban kejahatan, tidak harus menunggu kita membuka pintu, keluar rumah dan pergi ke jalanan. Saat diam di rumah pun kita bisa saja memjadi korban dari kejahatan melalui dunia maya Cyber crime. Mulai dari yang remeh sepeti sms minta pulsa, penipuan berkedok hadiah hingga data pribadi kita yang dicuri dan diperjualbelikan.
Maka, segala upaya kita memproteksi diri pada satu sisi adalah bentuk pertahanan diri. Survival Mechanism. Kita perlu jaminan rasa aman supaya dapat menjalani hidup tenang. Termasuk untuk mengerjakn yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita. Namun, sejauh mana kita dapat memproteksi diri dan memastikan bahwa semua ada dalam kendali kita? Realitas hidup mengajarkan bahwa ada hal-hal yang di bawah kendali kita dan ada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita.
Keinginan untuk memproteksi diri kerap berubah menjadi rantai yang membelenggu diri. Alih-alih terbebas dari rasa takut, yang terjadi justru kita dikekang rasa takut. Akibatnya kita tidak pernah menjadi benar-benar merdeka. Seperti para murid yang bersembunyi dan memproteksi diri mereka dengan pintu-pintu yang terkunci rapat. Mereka yang harusnya menjadi saksi kebangkitan Yesus Kristus justru masih bersembunyi oleh karena ketakutannya.
Yang diharapkan supaya hidupnya dapat menjadi berkat bagi banyak orang justru sibuk memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Dalam hal ini apa yang dikatakan oleh Heidegger bahwa manusia adalah makhluk yang keberadaannya ditentukan oleh kecemasan di depan kematian (Sein- zum-Tode) menjadi sangat relevan. Di tengah situasi yang menyulitkan, penuh ancaman dan tidak manusiawi, setiap orang punya kesempatan untuk lebih jujur dengan dirinya sendiri. Apakah kita adalah pribadi yang memilih untuk memikirkan eksistensinya sendiri atau menjadi pribadi yang tetap bermakna (meaningful) dalam situasi sesulit apapun. (Dian Penuntun Edisi 31).
Tinggalkan Balasan