Renungan Minggu, 29 Januari 2017
Agaknya kata “bahagia” menarik perhatian banyak orang. Sebagian besar orang akan berkata: siapa sih yang tidak ingin bahagia? Kebahagiaan seringkali dimaksud dalam hubungan dengan kepemilikan benda-benda atau berada dalam status sosial atau bergaya hidup tertentu. Akhirnya, untuk mendapatkan itu semua, banyak orang memilih untuk menghalalkan segala cara, termasuk menipu, menindas dan korupsi alias mengambil apa yang bukan haknya secara ilegal. Potret ini sangat lekat dalam kehidupan masyarakat kita, tidak terkecuali orang-orang Kristen. Bahkan kelompok Kristen tertentu mampu mengemasnya dalam khotbah-khotbah dan ibadah yang tampak sangat rohani. Dan bisa ditebak, “bisnis spiritual” ini sangat disukai, termasuk oleh sebagian anggota jemaat GKI.
Gaya hidup konsumtif dan glamour seolah-olah lekat dalam definisi orang-orang yang dikatakan berbahagia. Ini membuahkan juga budaya instan yang ingin mendapatkan segala sesuatu dengan cepat dan mudah. Maka tidaklah heran, jika penjualan manusia (trafficing) dalam rangka eksploitasi seks menjadi hal yang lumrah pada masa kini. Semakin lengkaplah potret kehampaan manusia para pencari kebahagiaan.
Allah mengundang setiap orang untuk mengalami kebahagiaan, yang sebenarnya telah tersedia di dalam Dia. Ia memberikan makna baru yang melampaui batas-batas manusia tentang kebahagiaan. Kebahagiaan itu tidak bergantung pada keadaan yang ada di sekitar manusia, karena ia bersumber kepada Allah, yang tak bergantung pada keadaan. Setiap orang percaya diundang untuk mengalaminya bahkan membuat dunia tempat ia hidup menjadi tempat yang lebih baik bagi sesamanya. Pernyataan Allah di dalam Kristus menjadi alasan kuat bagi kita untuk mempercayai kebenaran ini. Kristus yang mengalami kebahagiaan, yang tidak tergantung oleh benda-benda atau apapun yang bersifat sementara ini. Dengan demikian, setiap orang dapat dengan bebas bergerak untuk menjadi pejuang kebenaran dan keadilan bagi sesamanya. (Dian Penuntun, Edisi 23).
Tinggalkan Balasan