Renungan Minggu, 10 November 2019
Siapakah identitas kita sebagai seorang murid sesuai Matius 5: 13-16? Yang pertama, kita adalah garam dunia. Garam di dalam konteks Timur Dekat Kuno bermanfaat untuk memberikan rasa dan mengawetkan makanan. Murid dipanggil untuk memberikan rasa kepada dunia ini (Kol. 4: 6) atau untuk mencegah peradaban yang semakin rusak. Murid Kristus dipanggil untuk membuat dunia ini menjadi dunia yang lebih baik.
Dunia yang dimaksud di dalam ayat ini adalah sebuah ruang yang perlu dipengaruhi oleh murid-murid Kristus. Garam yang tidak asin merupakan istilah yang kontradiktif. Ibarat air yang tidak basah. Yesus memaksudkan ini bagi para murid yang sudah kehilangan perbedaannya di tengah-tengah masyarakat di dunia ini. Orang seperti demikian bukan saja menjadi hambar, tetapi juga menjadi bebal.
Yang kedua, kita adalah terang dunia. Hal ini berkait erat dengan Matius 5: 11-12. Kita akan dianiaya oleh sebab Yesus Juruselamat kita pun teraniaya. Kita menjadi terang dunia karena Yesus dalam Injil Yohanes menyatakan bahwa Dia adalah Terang dunia (Yoh. 8: 12). Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.
Setiap perbuatan yang memuliakan Allah tidak mungkin bisa disembunyikan, pasti nampak. Mengapa hidup Yesus sangat eye-catching (menarik bagi yang melihat) dan ear-catching (menarik bagi yang mendengar)?” Karena Dia adalah Sang Terang sejati. Perkataan-Nya senada dengan perbuatan-Nya.
Apakah kita hidup di dalam integritas? Beranikah kita menyatakan kebenaran? Ataukah kita adalah garam yang sudah hambar? Atau di tengah jaman yang instagrammable kita juga bisa mengajak saudara-saudara seiman untuk tidak meng-instagram-kan perbuatan-perbuatan baik kita. “Orang seperti itu sudah mendapatkan upahnya.” Bila kita seperti itu, maka kebajikan kita bertopeng, kebaikan kita berkamuflase. Bila kita seperti itu adanya, maka pada hakikatnya kita adalah pahlawan bertopeng.
Bagaimanakah kita bisa menjadi pahlawan tanpa topeng? Gagasan dari John Piper bisa menutup perenungan kita. The saltiness of the salt and the brightness of the light is not good deeds in the abstract —lots of unbelievers do good deeds— but the deeds done joyfully for Christ’s sake in the face of opposition and persecution. That is what tastes salty and appears bright and causes people to glorify God — not just our good deeds. Rasa asinnya garam dan terangnya cahaya bukanlah perbuatan baik secara abstrak —banyak orang yang belum percaya juga melakukan perbuatan baik— tetapi perbuatan itu dilakukan dengan sukacita demi Kristus dalam menghadapi pertentangan dan penganiayaan. Itulah perbuatan baik yang terasa asin dan yang nampak terang dan menyebabkan orang-orang memuliakan Allah — bukan hanya perbuatan baik kita saja.
(Disadur dari bahan khotbah – BPMSW GKI SW Jabar)
Tinggalkan Balasan