Renungan Minggu, 13 Juli 2014
Proses globalisasi menampilkan sisi-sisi yang paradoksal. Di satu sisi umat manusia digambarkan tinggal dan hidup dalam ‘satu desa besar’ yang tidak peduli lagi batas sekat. Hal ini ditopang oleh kemajuan teknologi komunikasi yang spektakuler.
Orang harus berpikir bahwa umat manusia tidak bisa hidup sendiri lagi. Satu sama lain saling berkait, saling membutuhkan, dan saling bergantung. Mau tidak mau orang mesti bekerjasama. Pada sisi yang lain, jargon utama dari globalisasi adalah ‘kompetisi’ dan ‘bersaing’. Celakanya, jargon ini yang sangat ditekankan bahkan dalam dunia pendidikan sekali pun. Sejak dini kepada anak-anak, misalnya, ditanamkan semangat berkompetisi dan bersaing. Tentu saja sampai pada batas tertentu masih sehat, dan bersifat positif, artinya membuat orang terpacu untuk maju dan berkembang.
Sayang bahwa kegiatan ‘bersaing’ dan ‘berkompetisi’ tidak diimbangi dengan sikap ‘setiakawan’ dan ‘bekerjasama’. Hal semacam ini pun masih terus terjadi ketika orang merasa menghayati iman kepada Kristus. Orang salah memahami dan menghayati sikap-sikap Kristus yang justru mengedepankan solidaritas ketimbang rivalitas, bahkan orang yang memusuhi-Nya selalu dianggap sebagai ‘calon teman’ bukan untuk dikalahkan tetapi dimenangkan bagi kemuliaan Allah, Bapa-Nya. (Dian Penuntun, edisi 18).
Tinggalkan Balasan