Renungan Minggu, 4 Agustus 2013
Manusia menghargai hikmat, dan merindukannya. Karena itu orang yang dipandang bijaksana mengenai posisi terhormat dalam kehidupan masyarakat, Pengkotbah, menurutnya pengakuannya, adalah orang yang berhikmat. Ia dihormati, dan ia juga raja atas Israel di Yerusalem. Dalam hati, ia mengatakan: “… aku telah memperbesar dan menambah hikmat lebih daripada semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku dan hatiku telah memperoleh banyak hikmat dan pengetahuan.” (Pengkhotbah 1:16). Dengan hikmat, ia juga memeriksa dan menyelidiki segala sesuatu yang terjadi di bawah langit (ayat 13). Ia merasa dirinya menjadi besar, lebih besar dari siapapun yang pernah hidup di Yerusalem. Namun ia merasa bahwa itu semua adalah kesia-siaan. Bukan hanya hikmatnya, tetapi juga jerih payah pekerjaannya. Sia-sia … karena semuanya akan lenyap bersama akhir hidupnya di dunia. Pengkotbah memandang hidup manusia sebatas usianya di atas bumi.
Perasaan Pengkhotbah bisa jadi mewakili perasaan banyak orang. Hikmat manusia dan pekerjaan yang dilakukan berdasarkan kecerdikannya, memang dapat menjadi sebuah kesia-siaan. Hal itu terjadi karena perspektifnya mengenai pekerjaan dan hikmatnya terbatas: hanya selama hidup di bumi, dan bagi kepentingan diri sendiri. Jangkauan pandangannya amat terbatas. Akibatnya, pekerjaan yang dilakukan, dan pengertian yang didapat dengan susah payah itu akan berakhir sebagai sebuah kesiaan-siaan, seperti usaha menjaring angin. Mereka yang berhikmat menyadarinya.
Agar jerih payah bekerja dan mencari hikmat yang dilakukan manusia tidak berakhir sia-sia, diperlukan sebuah perspektif hidup yang baru, yang jangkauannya bersifat transendental-melampaui kefanaan manusia dan alam semesta. Perspektif baru ini ditawarkan Tuhan melalui firman yang tersirat dan tersurat, dalam Lukas 12:13-21, Kolose 3:1-11. Dengan menjadi manusia baru – yang mati dan bangkit bersama Kristus serta terus menerus diperbaharui – perspektif hidup manusia akan melampaui ‘kodrat’ hidupnya di dunia. Pikirannya akan mengembang sampai ke “perkara yang di atas”, ke arah dunia yang “adikodrati”, ke tempat di mana Kristus berada. Jangkauan pikirannya akan melampaui kefanaan mengembang hingga ke kebakaan. Manusia juga menyadari pentingnya mengembangkan pengenalan akan Allah: memiliki relasi yang akrab dan hidup. Relasi seperti ini bersifat personal namun mempunyai dampak sosial dan kultural. Relasi personal dengan Allah akan memungkinkan manusia memasuki alam kekekalan, hidup bersama Kristus, Tuhan, dalam kemuliaan surgawi kelak. Inilah arah baru bagi hidup manusia. (Dian Penuntun Edisi 16, hlm 117-118).
Tinggalkan Balasan