Renungan Minggu, 9 Februari 2014
Negara ‘auto pilot’ adalah sebutan terhadap ketidak-hadiran Negara dalam kehidupan rakyat di negeri ini. Politik pembiaran, drama tutup mata dan tutup telinga, adalah bukti nyata bahwa Negara absen dari hidup rakyatnya. Negara ada, tetapi tidak hadir, laksana garam yang kehilangan rasa asinnya.
Akibat ketidakhadiran ini, maka kehidupan berbangsa meluncur deras dalam mekanisme hukum rimba. Siapa kuat dan banyak, maka ia menang. Itu sebabnya ada yang mencemaskan Negara ini menjadi Negara gagal. Dalam konteks ini, bisa dimengerti jika publik melihat fenomena kepemimpinan Jokowi laksana air segar di tengah kehausan.
Apakah gereja hadir ataukah sekedar ada? Apa bedanya? Untuk sekadar ADA tidak dibutuhkan cinta, keterlibatan, dan pemberian diri. Sedangkan untuk HADIR, mutlak dibutuhkan cinta, keterlibatan, pemberian diri. ‘Spiritualitas kehadiran’ inilah yang harus dikembangkan GKI bagi anggota dan kepada masyarakat yang mengelilinginya.
Di kancah jaman yang oleh Ronggowarsito disebut sebagai ‘jaman edan’, umat Tuhan dipanggil untuk tidak ikut ‘ngedan’. Gereja justru harus semakin bersungguh-sungguh mewujudkan kehadirannya sebagai garam dan terang dunia. Di era kehidupan yang dilanda degradasi moral, ditikam kecenderungan aborsi nilai kebenaran, dan laku keadilan yang lumpuh, gereja dipanggil untuk tetap hadir, memberi daya sentuh dan daya sembuh. Untuk itu gereja tidak boleh kehilangan rasa asinnya. Gereja harus terus menyala bagai pelita. Karena itu nilai-nilai Kristiani yang khas dan berharga harus semakin intens didarah-dagingkan.
Hari ini kita diajak untuk memiliki spiritualitas yang transformative, yaitu menggarami dan menerangi dunia. Menjadi agen-agen transformasi sosial, bukan aksi sosial.
Tinggalkan Balasan