Renungan Minggu, 7 April 2019 – Minggu Prapaskah V
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan kata “praksis” sebagai “praktik” (menyangkut bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia). Dengan demikian praksis itu tentu menyangkut segala aspek tindakan manusia dalam keseharian, baik secara fisik maupun verbal. Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul, “Pedagogy of The Opressed” (Pendidikan Kaum Tertindas) mendefinisikan kata “praksis” sebagai, “Refleksi dan aksi atas dunia dengan tujuan untuk mentransformasinya. “dengan kata lain, Paulo Freire hendak mengatakan bahwa praksis adalah sebuah tindakan yang seyogianya lahir dari kombinasi yang proporsional antara refleksi dan tindakan manusia. Apa yang terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan di antara keduanya?
Refleksi yang dilakukan secara terus-menerus tanpa sebuah aksi akan berubah menjadi “verbalisme” atau kumpulan kalimat yang kosong, hanya sebatas pemanis bibir saja. Demikian pula sebaliknya. Tindakan yang dilakukan secara terus-menerus tanpa ada ruang dan waktu merefleksikannya sesuai dengan nilai-nilai yang hendak diwujudkan, akan berubah menjadi sebuah “aktivisme” atau sebuah kumpulan tindakan yang bersifat sporadis, tanpa makna. Dengan demikian Paulo Freire menegaskan bahwa ”praktis” adalah lingkaran refleksi-aksi yang dilakukan manusia untuk menghasilkan sebuah dampak tertentu namun pada saat yang sama juga memiliki kesadaran dan sikap evaluatif terhadap dampak yang dihasilkan.
Teori yang diungkap oleh Paulo Freire tersebut sesungguhnya sangat dekat dengan kehidupan bergereja pada masa kini. Bukankah gejala verbalisme dan aktivisme juga dapat muncul dalam kehidupan bergereja? Secara sederhana, fenomena ini dapat diamati dalam beragam kultur bergereja yang ada di sekitar kita. Mulai dari kultur gereja yang terbiasa menyajikan puluhan kegiatan dalam sepekan yang berbentuk kelas-kelas Pemahaman Alkitab (termasuk persekutuan wilayah/sektor, dan kelas-kelas pembinaan iman umat lainnya) hingga kultur gereja yang berfokus pada partisipasi aktif dalam berbagai aktivitas sosial-kemasyarakatan dan program-program eksternal komunitas lainnya. Namun pertanyaannya, apakah segala “kesibukan mulia” yang dilakukan tersebut telah membawa kita memahami tujuan utama di balik segala sesuatunya, yaitu transformasi diri, sesama, dan dunia?
Masa Prapaskah menjadi saat yang tetap bagi kita untuk mengajak umat berefleksi atas segala aktivitas keagamaannya. Terlebih menjelang Minggu Sengsara ini, pada umumnya umat sedang mencapai puncak dari kesibukan gerejawinya. Maka pada Minggu Prapaskah V ini, umat akan diajak untuk memaknai segala sesuatunya di bawah terang kesaksian hidup para tokoh Alkitab dalam pembacaan leksionari Minggu ini, secara khusus melalui kontradiksi yang muncul dalam diri seorang Maria dan Yudas Iskariot dalam bacaan Injil. (Dian Penuntun Edisi 27).
Tinggalkan Balasan