Renungan Minggu, 29 Maret 2015 – Minggu Palmarum
Minggu Prapaskah VI memiliki makna ganda, yaitu Minggu Palmarum dan Minggu Sengsara. Dalam penceritaan di Minggu Palmarum, penduduk Yerusalem mengelu-elukan Yesus dengan nyanyian “Hosana”. Namun, di Minggu Sengsara, umat yang semula menyanjung Yesus berubah menjadi kumpulan orang yang melampiaskan kemarahannya dan kebenciannya, sehingga Yesus disalibkan. Dengan demikian, di Minggu Prapaskah VI terkandung dua makna yang paradoksal. Realitas yang paradox adalah kedua makna yang mengandung kebenaran, namun juga memiliki sifat yang kontradiktif. Walter Brueggemann dalam Text for Preaching Year B menyarankan agar pengkhotbah memiliki salah satu dari dua dimensi Minggu Prapaskah VII, yaitu Minggu Palma atau Minggu Sengsara. Namun, perlu diingat bahwa pemilihan tema liturgis Minggu Sengsara tidak dimaksudkan sebagai pemberitaan firman yang mengulas kisah Jumat Agung. Makna Minggu Sengsara merupakan liturgi yang mempersiapkan umat untuk menghayati makna perayaan Triduum (trihari, suci), yaitu Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan Paskah. Dalam hal ini pengkhotbah dapat mengulas lebih mendalam penafsiran Yesaya 50:4-9 dan Mazmur 31:10-17.
Walaupun pengkhotbah akan memilih salah satu dimensi dari Minggu Prapaskah VI, yaitu Minggu Palma ataukah Minggu Sengsara, namun penekanan salah satu dimensi tersebut tetap perlu menyoroti karakter paradoksalnya. Misalnya menekankan pada Minggu Palma, pengkhotbah tidak boleh lalai bahwa penduduk Yerusalem kelak akan menolak dengan berteriak untuk menyalibkan Yesus. Demikian pula bila pengkhotbah menekankan Minggu Sengsara, ulasan teologis tentang masuknya Yesus ke kota Yerusalem dengan disambut dengan daun-daun palem harus diberi tempat yang proporsional. Dengan memperhatikan dua dimensi secara seimbang, maka perayaan Minggu Prapaskah VI akan dialami oleh umat sebagai perayaan sukacita, namun juga dukacita, puji-pujian dan sikap hormat namun juga pengkhianatan. Dua dimensi yang kontradiktif dalam perayaan Minggu Prapaskah VI mengingatkan umat agar mengembangkan pemahaman iman yang lebih utuh dan luas, sehingga tidak terjebak pada pemahaman ideologis yang sempit dan fanatic. Umat dipanggil memahami diri Kristus secara utuh dan menyeluruh, sehingga mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bagaimana umat mengembangkan hidup dalam integritas imannya di tengah-tengah sanjungan dan caci maki sesama di sekitar. (Dian Penuntun edisi 19, halaman 211 – 212).
Tinggalkan Balasan