Renungan Minggu, 30 Juni 2013
Di dunia ini banyak orang lebih suka menjadi follower daripada leader. Hal ini memang tampak “alamiah”. Coba bayangkan bagaimana kacaunya kehidupan manusia kalau semuanya menjadi leader. Bila semua orang cenderung mengikuti gagasan, rencana, ambisi, atau keinginannya sendiri, pastilah akan terjadi bentrokan yang tak terbayangkan. Untung saja, sebagian besar orang cukup puas dengan menjadi follower, sehingga kemungkinan terjadinya konflik menjadi lebih terbatas.
Menjadi pengikut memang bisa menjadi cukup memuaskan dan membanggakan. Apalagi kalau pemimpinnya ‘mumpuni’. Setidaknya dalam pandangan para pengikutnya. Kepuasan dan kebanggaan tidak jarang diikuti dengan kesetiaan. Di sekitar kita masih tampak signifikan jumlah pengikut setia Alm. Soekarno atau bahkan Alm. Gus Dur. Pengikut-pengikut kedua almarhum mantan presiden RI itu, baik yang menyatakannya dengan terus terang maupun ‘gelap-gelapan’ (tersembunyi), masih setia, bangga, bahkan ‘memuja’ leader yang mereka kagumi ini.
Apakah pengikut Kristus memiliki kesetiaan dan kebanggaan seperti itu? Sebagian pasti ada. Tetapi, mungkin, bagian terbesar dari mereka yang mengaku pengikut Kristus ini kurang memiliki ‘greget’ kebanggaan atau kesetiaan kepadaNya. Mereka mengaku menjadi pengikut Kristus, namun kesediaan mereka untuk berjuang demi terlaksananya cita-cita Tuhan Yesus barangkali tidak begitu tampak. Sebagian dari mereka tampak sibuk memperjuangkan cita-cita sendiri dan sebagian lagi mungkin malah tidak memiliki sesuatu yang diperjuangkan, alias menjalani hidup sebagai sebuah rutinitas belaka yang tak berarah.
Kotbah ini mengingatkan para pengikut Tuhan Yesus untuk lebih menghayati pengakuan imannya dan mengikut Yesus dengan setia. Semoga kesetiaan menjadi pengikut Kristus ini diikuti dengan kebanggaan melayaniNya dan bekerja memperjuangkan terwujudnya cita-cita Kristus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dalam dunia ini.
Tinggalkan Balasan