Renungan Minggu, 25 April 2021
Peristiwa salib adalah paradoks akan kuasa. Pertama, peristiwa penyaliban Yesus bisa dilihat sebagai kemenangan penguasa Romawi guna menegakkan hukum Romawi di daerah jajahannya, sekaligus kemenangan para elit agama Yahudi yang terancam kedudukannya oleh pengaruh ajaran Yesus. Kedua, peristiwa penyaliban Yesus juga bisa dilihat sebagai kemenangan. Allah dalam me-wujudkan rencana keselamatan-Nya, bukan dengan kuasa yang menghancurkan kehidupan (life-threatening) tetapi sebaliknya dengan kuasa yang memulihkan kehidupan (live-giving).
Menariknya, paradoks akan kuasa yang serupa itu, kerap muncul dan dihadapi oleh umat di masa kini. Ada orang yang mengebu-gebu mendapatkan jabatan tertentu agar dapat berkuasa dan menguasai orang lain. Aneka pemilihan umum di tanah air, sekalipun sudah terus disempurnakan sistemnya dan telah menghasilkan sejumlah pemimpim yang bisa diandalkan, namun tetap saja diwarnai oleh pertarungan segelintir elit yang sekadar mencari jabatan demi kekuasaan.
Kehidupan gerejawi pun tidak luput dari ambisi akan kuasa. Ada orang-orang tertentu yang begitu ingin menjadi penatua. Ada juga pendeta-pendeta tertentu yang berambisi menduduki jabatan-jabatan tertentu, karena jabatan tertentu itu dipandang bergengsi dan dianggap menawarkan kuasa tertentu.
Minggu Paska IV adalah momen yang tepat untuk menghayati kembali pengajaran dan teladan yang diberikan oleh Yesus dalam kepemimpinan-Nya. Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai gembala yang baik. Istilah gembala yang baik ini dikontraskan dengan orang upahan yang bukan gembala. Ada perbedaan peran dan tanggung-jawab di antara keduannya. Gembala yang baik memimpin kawanan domba dengan kasih dan kerelaan untuk berkurban. Sementara orang upahan yang bukan gembala hanya mencari kenyamanan untuk dirinya sendiri tanpa mau berkurban bagi kawanan domba gembalanya.
Umat di masa kini – dalam kadar tertentu, sesungguhnya merupakan pemimpin (setidaknya untuk diri sendiri). Pertanyaannya adalah semangat apa yang muncul dalam diri umat ketika memimpin/menggembalakan? Semangat membangun kehidupan bersama? Ataukah semangat mengeksploitasi kehidupan bersama untuk keperluan pribadi? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab pada bagian-bagian selanjutnya. Namun setidaknya, dalam melaksanakan panggilan untuk menggembalakan umat diajak untuk menghayati spiritualitas yang Yesus ajarkan dan teladankan. (Dian Penuntun Edisi 31).
Tinggalkan Balasan