Renungan Minggu, 29 Oktober 2023
Di gereja ketika menanti jam kebaktian dimulai, seorang ibu yang duduk di bangku di depan saya sedang membaca warta jemaat. Entah kepada dirinya sendiri atau kepada suaminya yang duduk di sebelahnya, ia berkata: “Bosen! Lagi-lagi temanya tentang ‘KASIH’. Tema klise!”
Timbul pertanyaan: Apakah mengasihi itu sebuah lelucon? Apakah mengasihi sebuah ungkapan atau tindakan lucu dan menggelikan hati?
Secara sederhana, kata ‘klise’ mau mangatakan bahwa sesuatu itu sudah mengalami peyorasi atau sudah mengalami perubahan makna yang mengakibatkan sebuah ungkapan menggambarkan sesuatu yang lebih tidak enak, tidak baik dan sebagainya. Misalnya, kata perempuan yang sudah mengalami peyorasi, dahulu artinya ‘yang menjadi tuan’.
Umumnya, kata ‘klise’ diartikan sebagai ungkapan atau ekspresi yang sering dipakai sehingga ekspresi atau ungkapan itu kehilangan makna, atau efek hasilnya memudar, bahkan bisa terdengar dan memberi kesan menyebalkan apalagi ketika awalnya dianggap sangat bermakna.
Perintah mengasihi, baik mengasihi Tuhan, Allah maupun mengasihi sesama adalah perintah yang baik dan layak dilakukan di dalam kehidupan bersama. Mengasihi sesama bisa menolong seseorang membangun relasi yang baik dengan sesama bahkan menghadirkan damai sejahtera di dalam hidup bersama dengan sesama.
Tetapi, apakah perintah mengasihi itu hanya “kasihilah Tuhan, Allahmu” dan “kasihilah sesamamu manusia” saja? Ternyata, tidak! Dalam Imamat 19:18 dan Matius 22:39 dikatakan, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Secara sederhana, mengasihi sesama akan selalu dimulai dengan mengasihi diri sendiri. Namun, mengasihi diri sendiri ini jangan dipahami sebagai egoisme dan egoistis, kasih yang hanya untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
Karena egoisme dan egoistis dapat mencerminkan seseorang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Seseorang yang tidak mengasihi diri sendiri, akan sulit bahkan tidak mungkin mengasihi sesama dengan tulus dan rendah hati. Jadi, benarkah mengasihi itu klise?
Setelah pada Minggu ke-4 Bulan Keluarga, umat diajak untuk memberikan kehidupan keluarganya sebagai persembahan yang hidup bagi Allah, maka pada Minggu terakhir Bulan Keluarga ini kita akan menutupnya dengan ajakan mempersembahkan hidup keluarga kepada Allah yang diwujudkan dalam hidup saling mengasihi di antara anggota keluarga yang didasarkan mengasihi diri sendiri. (Dian Penuntun Edisi 36).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- PKJ 4:1,2
- KJ 467:1-3
- Bersukacitalah Selalu
- NKB 104:1-3
- MAZMUR 1
- PKJ 146:1-2
- Ku Mulai dari Keluargaku
Tinggalkan Balasan