Renungan Minggu, 25 November 2012
Bagi kita yang sudah terbiasa hidup dengan sistem pemerintahan demokrasi, tidak mudah membayangkan, atau – apalagi – merasakan sistem pemerintahan kerajaan. Dua sistem tersebut pada dirinya memiliki perbedaan yang sangat besar. Yang pertama mensyaratkan suatu pembagian kekuasaan, sedangkan yang kedua justru pemusatan kekuasaan. Bahwa perbedaan itu juga pada gilirannya bisa dipengaruhi oleh siapa yang sedang berkuasa, tidak membuat sistemnya berubah. Kalau hari ini kita diajak memahami hal kerajaan, maka bukan pertama-tama karena kita mau mengubah sistem. Tapi, karena pemahaman mengenai kerajaan itu akan dikaitkan dengan sosok (raja)nya, yang tak lain adalah Yesus. Sejak semula, pengakuan mengenai Yesus sebagai Raja sudah menimbulkan kontroversi.
Pengakuan atas Yesus sebagai Raja tidak pernah mudah diterima. Bukan saja untuk orang non-Yahudi, bahkan untuk orang Yahudi sekalipun. Asal usul Yesus – yang diketahui oleh orang Yahudi pada umumnya -, serta sikap dan pandangan Yesus mengenai Hukum Taurat, menjadi kendala utama bagi pengakuan tersebut.
Pemahaman ini penting, agar kita betul-betul dapat menempatkan – dan, pada gilirannya, mengakui! – Yesus sebagai Raja, serta menjalani hidup sebagai warga dari Kerajaaan Allah. Tentu saja, sembari memelihara agar sikap hidup kita tak jadi mendua, seolah kita memiliki dua pola hidup: pola hidup sebagai orang Kristen, dan pola hidup sebagai orang Indonesia. Sikap seperti ini tidak boleh terjadi. Pengakuan bahwa Yesus adalah Raja justru kita wujudkan lewat hidup keseharian kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kehadiran gereja di Indonesia mesti menjadi bentuk konkrit atas pengakuan tersebut.
Tinggalkan Balasan