Renungan Minggu, 18 Oktober 2015 – Bulan Keluarga
Pada umumnya manusia cenderung menghindari dan menolak penderitaan. Namun, tak dapat disangkal, tidak ada manusia yang steril dari derita. Setiap orang pernah mengalami kesulitan dan pergumulan, yang kemudian kita sebut sebagai penderitaan. Ada pelbagai sebab manusia mengalami penderitaan, antara lain: kesalahan atau kelalaian diri sendiri, kurangnya pengetahuan, dimusuhi atau dianiaya orang lain karena tidak sepaham, atau sama sekali tidak diketahui penyebabnya. Untuk yang terakhir ini, biasanya sikap spiritualitas orang percaya akan mengatakan, “Tuhan mempunyai rencana yang indah.”
Berkaitan dengan tema kita, jelaslah yang dimaksud dengan menderita itu bukan akibat kesalahan dan kelalaian sendiri, melainkan sebagai konsekuensi dari ketaatan kepada Tuhan. Dengan kata lain: memilih taat kepada Tuhan mengandung pengertian: senantiasa tunduk, patuh, tidak berlaku curang, setia, disiplin dan selalu mendahulukan kehendak Tuhan. “Menderita namun tetap taat”. Kalimat tema ini gampang diucapkan tetapi sulit untuk dijalani! Mengapa? Sebab pada umumnya manusia dengan naluri, logika dan segenap kemampuannya punya “sistem” untuk menghindari dan menolak penderitaan itu. Maka, untuk dapat mengalahkan “sistem” yang cenderung (membuat orang) lari dari penderitaan, harus ada sesuatu yang lebih bernilai yang dapat mengatasinya. Salah satu hal yang dapat mengatasi penolakan terhadap konsekuensi penderitaan adalah kecintaan dan keyakinan iman yang tulus kepada Allah. Orang yang mengasihi Allah dan memercayakan hidup kepada-Nya pasti dapat bertahan di tengah kesulitan dan penderitaan yang luar biasa sekalipun. Bukankah pengalaman empirik kita menunjukkan hal itu? Misalnya, seorang ibu akan meninggalkan kenyamanannya, -seharusnya ia dapat menikmati istirahat pada malam hari setelah seharian disibukkan dengan pelbagai urusan rumah tangga- ketika anaknya menangis karena popok yang basah, atau lapar. Seorang kekasih akan melakukan apa saja, yang mungkin dilihat nekad oleh orang lain, penuh tantangan dan derita, demi menyenangkan buah hatinya. Pengalaman empirik yang (membuat orang) merelakan diri menderita untuk orang yang dikasihi, mestinya dapat menjadi modal untuk melakukannya bagi, dan atas nama cinta kepada Allah.
Yesus Kristus adalah contoh yang sangat gamblang dan jelas. Begitu besar kasih-Nya kepada Bapa-Nya, sehingga Ia rela memberikan apapun, termasuk nyawa-Nya sendiri! Disamping itu, Yesus Kristus tahu benar rencana Bapa-Nya atas jalan hidup yang harus Ia tempuh. Dengan sikap seperti ini, penderitaan bukan lagi hambatan dalam ketaatan kepada Bapa-Nya. Penderitaan justru membuat ketaatan dan kesetiaan-Nya semakin nyata. Penderitaan menjadi mata uji bagi orang yang mengaku tujuan (teleios) Allah untuk menyelamatkan dunia. (Dian Penuntun Edisi 20).
Tinggalkan Balasan