Renungan Minggu, 28 November 2010
Pagi yang cerah bila dimulai dengan saat teduh yang indah akan menambah cerianya hari yang akan kita lalui. Suatu pagi ibu Tantri menyudahi waktu teduhnya dengan berdoa dan memuji Tuhan. Ada damai sejahtera yang mengalir dalam relung hatinya. Setelah selesai bersaat teduh, segera ibu Tantri keluar dari kamarnya, pergi ke dapur, menyediakan sarapan pagi untuk keluarganya. Apa daya, ia salah melihat jam. Ia pikir waktunya masih panjang untuk menyelasaikan tugas rumah tangganya di pagi itu. Tetapi kenyataannya, ia dikejar-kejar waktu.
Tidak lama kemudian selesailah persiapan sarapan paginya dengan sedikit aroma hangus di telur dadarnya. Hati ibu Tantri mulai sedikit gundah dan cemas, karena masih ada beberapa tugas lagi yang belum dikerjakannya. Baru saja ia menuangkan kopi ke cangkir milik suaminya, apa daya, si kecil menyinggung tangannya sehingga kopi tumpah mengenai baju ibu Tantri. Kekuatirannya memicu aliran darahnya semakin deras. Rasa marah dan jengkel mulai menyeruak. Tetapi ia masih mampu menguasai dirinya.
Ia segera mengganti baju. Di kamar mandi, kemarahannya meledak ketika ia membuka keran air yang tidak mengeluarkan air. Rusaklah hari yang sudah dimulai dengan indahnya.
Di manakah damai sejahtera itu? Banyak orang menganggap bahwa damai adalah perasaan manusia sebagai suatu respon terhadap situasi atau lingkungan di sekitarnya. Bila lingkungan nyaman, maka rasa damai hadir dalam hati. Bila situasi mengkuatirkan, maka rasa damai itu sirna. Itulah yang dialami ibu Tantri. Ia merasa damai ketika sedang berespon dengan firman Tuhan dalam saat teduh. Tetapi damai itu tiba-tiba sirna ketika sekitarnya membuat ia tidak nyaman atau terganggu.
Apakah damai sejahtera yang Tuhan janjikan adalah damai yang seperti itu? Tuhan berkata bahwa damai yang diberikan itu menetap. Damai yang tidak terusik oleh situasi atau kondisi apapun juga. Sudahkah Anda memiliki damai yang seperti itu?
Tinggalkan Balasan