Renungan Minggu, 14 September 2014
Menjadi pemenang merupakan sebuah kebanggaan dan prestige tersendiri bagi banyak orang. Hal ini tidaklah mengherankan, karena pemenang adalah sosok yang disanjung, dihormati, disegani bahkan, mungkin saja, ditakuti orang lain. Dengan demikian, setelah menjadi pemenang, si pemenang perlu menjaga image agar pencitraan dirinya tidak luntur, dan ia tetap dihormati banyak orang. Pemahaman tersebut tampaknya juga dihidupi oleh gereja.
Gereja adalah bagian dari “ke-raja-an” Allah (Kingship) yang berperang dan terus berperang melawan musuh (Iblis). Kemenangan demi kemenangan dapat diraih hingga mencapai sebuah suksesi yang melahirkan sebuah pernyataan: “Jika Allah di pihak kita, siapa dapat melawan. Kita lebih dari pemenang.” Kecenderungan yang bisa muncul adalah gereja menghidupi paham triumphalistik, yaitu sebuah paham yang melihat bahwa gereja adalah sosok yang selalu yakin akan terus menang, kuat, berjaya dan tidak pernah kalah ketika menghadapi musuh. Setidaknya paham inilah yang melatarbelakangi munculnya semboyan 3G, yatiu Glory, Gold and Gospel, yang akhirnya membuat gereja dibenci sampai sekarang karena menebarkan kekerasan, permusuhan dan cenderung destruktif.
Lawan dari triumphalistik adalah Militia Christi, yaitu gereja yang berjuang demi tegaknya keadilan dan terwujudnya perdamaian di dunia. Apabila pernyataan jika Allah di pihak kita, siapa dapat melawan, kita lebih dari pemenang, dilihat dari sudut pandang Militia Christi, maka Allah yang ada di pihak kita adalah Allah yang turut hadir dan berjuang di dalam penderitaan umat manusia untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian. Menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian itulah misi Allah. Gereja adalah bagian dari ke-raja-an Allah (Kingship) dan sekaligus keluarga Allah (kinship) yang berjuang untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian (Dian Penuntun edisi 18, halaman 133 – 134).
Tinggalkan Balasan