Renungan Minggu, 5 April 2020 – Minggu Pra Paskah 6
Pada Minggu Pra-Paskah VI, Gereja dan umat diajak untuk meneladani Yesus yang berani memersepsikan dan menghadirkan diri-Nya sebagaimana Dia harus ada dan hadir di tengah situasi dan kondisi masyarakat (khalayak ramai), sekalipun diperhadapkan dengan sikap arogan para pemimpin atau tokoh agama dan pemerintahan. Sehingga masa Pra-Paskah, yang diawali dengan hari Rabu Abu, tidak selalu diisi dengan pergumulan yang berat dan dukacita, tetapi juga sebagai yang memberi pengharapan bahkan kesukacitaan.
Sebab, di dalam dan melalui masa Pra-Paskah, Gereja dan umat mempunyai kesempatan untuk terus menghayati dan memaknai peristiwa salib yang memotivasi Gereja dan umat mengenali dan mengalami kasih Allah di dalam Yesus Kristus melalui pertobatan dan anugerah pengampunan Allah.
Minggu Pra-Paskah VI yang disebut Minggu Palem (Yoh. 12:13) atau Minggu Sengsara adalah hari Minggu terakhir sebelum hari raya Paskah dan hari pertama Pekan Suci atau Pekan Agung, yang di dalamnya ada hari raya Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Sunyi. Pada Minggu Pra-Paskah VI, Gereja dan Umat mengenang, menghayati dan memaknai peristiwa Yesus memasuki kota Yerusalem, Yesus yang di elu-elukan, disanjung dan diterima sekaligus yang ditolak, Yesus yang menderita dan disalibkan.
Pada Minggu Pra-Paskah VI, umumnya, ruang kebaktian gereja dipenuhi dengan ornament daun palem. Dalam kebaktian (dengan liturgi yang mencakup Minggu Palem dan Minggu Sengsara), kepada umat dibagikan daun palem yang menjadi lambang perdamaian, kehidupan, kemenangan, dan pengharapan akan pertolongan Tuhan. Daun Palem yang dibagikan dibawa pulang dan disimpan sampai pada hari Minggu sebelum hari Rabu Abu, secara tradisi, dari daun palem itulah diperoleh abu yang akan dipergunakan untuk penerasan di dahi dalam ibadah hari raya Rabu Abu.
Dari sekian banyak anggota jemaat yang hadir dalam kebaktian, mungkin, ada yang berkomentar: “Kok dekorasinya daun palem semua, sih?” atau ketika diminta untuk menyanyi sambil melambai-lambaikan daun palem, tidak sedikit yang merasa enggan, malu, dan risih. Mengapa? Persepsi!
Apa yang ada di dalam pikiran kita (bahkan bayangan atau penilaian dan sikap) itu bisa muncul karena kita memiliki persepsi. Itu sebabnya, kita mendengar orang yang mengatakan. “Orang itu sudah salah persepsi” atau “Kita harus menyamakan persepsi dulu. “Apa itu persepsi? Persepsi (bhs. Latin – perception atau percipio) mempunyai makna tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris untuk memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan sekitarnya.
KBBI memaknai persepsi sebagai: 1) tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; 2) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya. Dengan demikian, persepsi adalah suatu proses internal seseorang dalam memberikan interpretasi berdasarkan informasi yang diterima inderanya dari lingkungan sekitarnya. Persepsi seseorang bisa saja terbentuk karena dipengaruhi oleh faktor internal (seperti: fisiologis, perhatian, minat, kebutuhan, pengalaman, ingatan, suasana hati, dsb) atau factor eksternal (seperti: ukuran, warna, keunikan, gerak, intensitas, dsb).
Lalu bagaimana persepsi kita tentang Yesus yang memerlukan seekor keledai betina dan memersepsikan diri-Nya dengan mengendarai keledai betina memasuki Yerusalem? (Dian Penuntun Edisi 29).
Bacaan Alkitab:
- Minggu Palem: Mazmur 118:1-2, 19-29
- Minggu Palem: Matius 21:1-11
- Minggu Sengsara: Yesaya 50:4-9
- Minggu Sengsara: Mazmur 31:8-17
- Minggu Sengsara: Filipi 2:5-11
- Minggu Sengsara: Matius 27:11-26
Nyanyian Jemaat:
- –
- –
- –
- –
- –
- –
Tinggalkan Balasan