Renungan Minggu, 15 Maret 2020 – Minggu Pra-Paskah 3
Alkitab Perjanjian Lama mencatat bahwa segera sesudah terjadinya tragedi pembunuhan pertama dalam kisah Kain dan Habel, manusia suka mengkotak-kotakkan dirinya berdasarkan identitas kelompoknya. Dalam Kejadian 4:17 dikatakan: “Kain bersetubuh dengan istrinya dan mengandunglah perempuan itu. lalu melahirkan Henokh; kemudian Kain mendirikan suatu kota dan dinamainya kota itu Henokh, menurut nama anaknya”. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, Kain mendirikan suatu kota dan menamainya menurut identitas atau ciri khas kaumnya, yaitu nama keturunannya sendiri (Henokh).
Apa yang dilakukan oleh Kain, pada kemudian hari ditiru oleh orang-orang dalam peristiwa menara Babel (Kejadian 11:1-9). Mereka mencoba untuk mendirikan sebuah hegemoni kekuasaan di atas landasan keseragaman (Kejadian 11: 4). Hal ini, secara intuitif dan normatif sudah bertentangan dengan apa yang mula-mula menjadi rancangan Allah bagi dunia pada awal penciptaan. Dalam Kejadian 1:28, Allah berkata, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. “Membangun menara untuk menghimpun manusia berlawanan dengan kehendak Allah agar manusia memenuhi bumi.
Sungguh ironis ketika manusia lebih suka memperkokoh identitas kelompoknya sendiri dan mendiskriminasikan mereka yang ada di luar kelompoknya, padahal misi Allah sebagaimana dikatakan dalam Kejadian 1:28 adalah menjadikan manusia sebagai pamong bagi seluruh dunia.
Oleh sebab itu penulis kitab Kejadian dengan sangat jeli menempatkan kisah perjalanan Abram dalam Kejadian 12 (bacaan pertama Minggu lalu / Prapaskah II) persis setelah kisah menara Babel diruntuhkan dan bumi terserak begitu rupa dalam keberagaman.
Dari situlah kisah pemanggilan Abram kemudian terbit sebagai model inklusivitas dalam diri Abram yang bersedia keluar dari zona nyaman, cangkang eksklusivisme dan keseragaman kaumnya untuk kemudian menjangkau realitas yang beragam. Melalui perenungan pada Minggu Prapaskah III ini, umat diajak untuk merefleksikan ulang kehidupan dan karya Kristus bukan hanya dari kacamata pemulihan yang bersifat individual semata melainkan juga pemulihan yang mencakup relasi-relasi yang lebih luas (komunal) yaitu relasi manusia dengan sesamanya dalam realitas keseharian. (Dian Penuntun Edisi 29).
Tinggalkan Balasan