Renungan Minggu, 3 November 2019
Dalam kisah Zakheus, masyarakat yang beragama kala itu sangat akrab dengan berbagai hukum yang siap menelanjangi dosa dan kesalahan seseorang. Oleh karenanya, mereka menganggap biasa bahwa orang berdosa itu juga seharusnya ditelanjangi dosa dan kesalahannya. Orang berdosa pantas dicaci, dikutuk, dihukum, dihakimi dan ditolak.
Karena itu, mereka sangat sulit melihat Yesus yang berkenan menerima, mengasihi, bahkan bergaul dengan orang-orang berdosa. Dikotomi berdosa dan tidak berdosa menjadi sangat destruktif. Yang berdosa selalu dianggap tidak rohani. Yang berdosa bahkan tak punya kesempatan memperoleh kebaikan. mereka dianggap tidak layak hidup. Sebaliknya, yang tidak berdosa adalah yang rohani, yang saleh, yang merasa telah rampung mengenal Tuhan, yang cakap dalam segala hal, dan yang selalu menyenangkan hati Tuhan.
Padahal, status yang rohani dan yang tidak berdosa itu diperolehnya dari penghakiman atas perbuatan orang lain dan tidak disertai perubahan hati dan sikap. Padahal apakah orang-orang yang menganggap dirinya saleh benar-benar hidup dalam kemurnian dan berkenan dihadapan Allah? Justru realita menyatakan yang sebaliknya. Mereka juga mempunyai dosa-dosa yang tersembunyi.
Yesus mengajarkan cara yang berbeda dalam memperlakukan pendosa, Yesus mengasihi pendosa meski ia juga membenci pendosa. Tawaran persahabatan dan penerimaan Yesus kepada Zakheus membuatnya berjumpa dengan kasih Allah. Kasih Allah itu membuatnya bersukacita dan mengalami perubahan hidup yang menjadi berkat bagi sesama. (Dian Penuntun Edisi 28).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- PKJ 17:1-2
- KJ 429:1-3
- KJ 467:1-3
- NKB 21:1-3
- PPK 201:1-3
- NKB 200:1-2
Tinggalkan Balasan