Renungan Minggu, 8 September 2019
Seberapa berharganya sesuatu yang dianggap milik, sejauh itulah orang berusaha untuk mempertahankannya. Harta benda, kekuasaan, bahkan orang-orang yang Tuhan tempatkan ada dalam hidup kita: suami/isteri, orang tua atau anak sering kita anggap sebagai “milik” kita.
Mereka melekat dan kita melekatkan diri kepada mereka. Kemelekatan yang sudah kadung dianggap milik membuat kita sulit melepaskannya ketika diperhadapkan kepada pilihan krusial atau dilematis. Hanya sedikit orang yang mampu melepas apa yang dianggapnya milik demi keagungan yang sesungguhnya.
Penulis Lukas menaruh perhatian khusus dengan tindakan pelepasan yang melekat sebagai milik yang harus dipertahankan. Contohnya dapat kita temukan dalam Lukas 12:33, “juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah …” (Lukas 12:13-21).
Bagi Lukas, tindakan pelepasan ini paling jelas mencerminkan kesungguhan manusia dalam ketaatannya kepada Allah. Barulah, setelah manusia melepaskan dirinya dari segala yang dianggap miliknya, Allah dapat bertindak dengan leluasa sebagai Pemberi. Inilah paradoks iman itu; dari satu pihak segala sesuatu harus dilepaskan.
Di lain pihak perlu disadari bahwa Kerajaan Allah merupakan pemberian Allah semata. “Yesus adalah manusia nomor satu yang dapat memberi segala sesuatu kepada pengikut-Nya, supaya mereka dapat mengabdi Kerajaan Allah sampai tingkat tertinggi, yaitu menyangkal diri secara total, sampai mati.
Sikap lestari untuk terus-menerus melepaskan diri dari segenap milik harus dimiliki setiap manusia untuk dapat menjadi pengikut Yesus yang benar. Penolakan harta memang bukan syarat untuk menjadi pengikut Yesus, melainkan syarat untuk tetap setia kepada-Nya sebagai pengikut”.
Lalu, apakah dengan menjadi pengikut Yesus orang harus memutuskan ikatan-ikatan efektif, emosional, dan melepaskan segala kepemilikan hingga nyaris telanjang, dan dengan demikian dapat memenuhi tuntutan Tuhan? (Dian Penuntun Edisi 28).
Tinggalkan Balasan