Renungan Minggu, 22 September 2019
Kekuasaan tidak mungkin lepas dari peradaban manusia. Dari abad ke abad, generasi ke generasi, kekuasaan memainkan perannya dalam banyak bentuk. Ia dapat menjadi baik atau buruk bergantung pada para pelakonnya. Dengan begitu, tidak mengherankan jika kekuasaan tidak saja menjadi perdebatan sepanjang masa tetapi juga menimbulkan persoalan dalam sejarah peradaban manusia.
Hal ini meneguhkan kritik terhadap model-model kekuasaan yang tampil dalam berbagai bentuk. Sejarah perjalanan bangsa kita Indonesia, menunjukan hal ini dengan jelas. Sebagian dari kita menjadi saksi sejarah pemerintahan orde baru hingga pasca reformasi. Di dalamnya, kita melihat bagaimana kekuasaan berjalan dan berperan dalam konstruksi politik bangsa.
Melalui bukunya, Franz Magnis-Suseno (Kuasa & Moral, Gramedia, 2001) mencoba menyandingkan moral sebagai sebuah landasan berpijak dalam merealisasikan kekuasaan. Setiap kekuasaan akan stabil kalau sah secara moral. Ia mengungkapkan bahwa usaha-usaha untuk memisahkan kekuasaan dan moralitas akan menggerogoti kekuasaan itu dari dalam.
Pada akhirnya kita dapat memahami bahwa sekalipun konsep terhadap kekuasaan mengalami rekonstruksi dari waktu ke waktu (pemahaman tradisional ke modern) tetapi ia tetap tidak kehilangan ciri khasnya, yakni kepentingan para pemangku kekuasaan itu sendiri, ini yang perlu kita kritisi.
Melalui bacaan hari ini, kita memahami bagaimana kekuasaan itu memainkan perannya dalam sejarah perjalanan kehidupan (termasuk kehidupan umat), juga tentang bagaimana para penguasa atau mereka yang diberi kuasa menjalankan kekuasaan itu. Secara khusus, bendahara yang tidak jujur dalam Injil Lukas 16 pada akhirnya memberikan perspektif lain dari kekuasaan.
Untuk menjalankannya secara benar, perlu ada pertobatan dan kemurnian hati. Pertobatan membawa kemurnian kepada kekuasaan. Ia juga menjadi alasan seseorang memandang kuasa sebagai kepercayaan Tuhan terhadapnya. Dengan begitu, para pelakon kekuasaan menjalankan kuasa dengan baik dan takut akan Tuhan. (Dian Penuntun Edisi 28).
Tinggalkan Balasan