Renungan Minggu, 16 Februari 2020
Telah lama kegundahan membaca kitab suci secara harafiah atau literalisme diungkapkan oleh para pengamat. Literalisme dinilai oleh para pengamat sebagai penyumbang konflik berbau agama Charles Kimball, sebagai contoh, menempatkan pembacaan literal sebagai hal yang pertama dari lima hal yang membuat agama menjadi monster keji dan menakutkan.
Realitas yang kita jalani di Indonesia menunjukkan bahwa agama turut mengambil bagian pada berbagai kasus kekerasan, Konflik Ambon adalah salah satu kasus nyata yang kental dengan unsur agama didalamnya. Pihak-pihak yang bertikai mendapat kekuatan atas teks kitab suci yang dipahami secara literal.
Apa itu literalisme? Secara sederhana literalisme adalah pembacaan teks kitab suci per bagian secara terisolasi dan semata-mata bersifat gramatikal. Setiap kata-kata ditafsirkan secara harfiah dan dianggap sebagai kebenaran mutlak. Pada kenyataannya tidak mungkin membaca secara literal.
Selalu ada “penafsiran” setiap kali kita membaca sebuah teks. Dalam bahasa teknisi hal ini kerap disebut dengan prapaham. Kimball sendiri mengatakan penilaian pribadi (baca: prapaham) mengaburkan pemahaman terhadap teks itu sendiri. Itu sebabnya, pada pembaca literal terdapat juga perbedaan pemahaman tentang teks yang sama bergantung pada agenda pembacanya.
Literalisme pada gilirannya akan membawa orang pada legalisme. Legalisme adalah menempatkan diri pada posisi teologis yang memusatkan diri pada dogma, aturan, regulasi secara ketat. Pada legalisme, agama menjadi hukum yang mengatur boleh-tidak boleh secara ketat. Termasuk hukuman jika melakukan pelanggaran.
Literalisme dan legalisme agaknya menguat pada kehidupan beragama di zaman Yesus. Konflik Yesus dengan para pemimpin agama seringkali berdasar pada persoalan itu. Kritik Yesus pada praktik literalisme dan legalisme nampak salah satunya pada Khotbah di Bukit. Lewat ajaran-Nya, Yesus mengajak orang untuk melihat pada kedalaman makna dan tidak terjebak pada kata-kata yang diartikan secara sempit. (Dian Penuntun Edisi 29).
Tinggalkan Balasan