Renungan Minggu, 28 Oktober 2012
Jika manusia berbicara mengenai penderitaan, dan ingin menghilangkannya dari dalam hidup mereka, maka hal itu adalah sebuah kesia-siaan. Sebab penderitaan adalah bagian dari hidup yang harus manusia jalani. Penderitaan itu tidaklah selamanya mencekam, tergantung bagaimana kita melihatnya, tentu dengan kacamata hati dan iman kita.
Penderitaan juga bukan melulu akibat dosa yang kita lakukan, tetapi bisa juga menjadi salah satu cara Tuhan (mendidik) supaya kita mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu jika kita bersikap sabar dan terus bertahan di dalam penderitaan itu, Tuhan tidak akan membiarkan kita terus hidup dalam keadaan seperti itu. Pastinya, jika kita mau berseru dan datang kepada-Nya, Tuhan akan memulihkan hidup kita. Hati, menurut orang Yahudi, adalah sumber dari mana kebaikan dan kejahatan muncul ke permukaan, jadi bukan melulu soal perasaan seperti biasanya kita beranggapan.
Hati yang penuh dengan belas kasihan, tentunya, adalah hati yang dapat melihat dengan kacamata iman, dan menganggap segala sesuatu di dalam kekuasaan Tuhan. Hati yang penuh dengan belas kasihan akan melihat sesama sebagai pribadi yang senantiasa layak menerima kebaikan. Lalu, bagaimana jika hati manusia tidak dapat melihat/buta terhadap belas kasihan? Tentunya, orientasi kehidupannya adalah diri sendiri. Sesama tidak dipandang sebagai pribadi yang layak menerima kebaikan, karena, baginya, yang layak menerima kebaikan adalah dirinya sendiri.
Tinggalkan Balasan