Renungan Minggu, 17 Oktober 2021
Umumnya disepakati bahwa kitab Ibrani bukanlah sebuah surat, sekalipun di bagian akhir terdapat semacam penutupan surat. Kitab lbrani lebih tepat disebut sebagai sebuah khotbah. Hal yang menarik dalam khotbah sebagaimana yang diuraikan dalam kitab lbrani adalah upayanya menjelaskan iman kristen dalam terang tradisi Yahudi. Dari upayanya itu, kita bisa menangkap dua hal penting.
Pertama, Tampaklah bahwa kekristenan berangkat dari tradisi Yahudi namun sekaligus berbeda dari tradisi Yahudi. Kedua, pentingnya belajar dari tradisi untuk memahami Kekristenan. Tradisi bukanlah hal yang buruk. Kata “tradisi” berasal dari kata Latin tradere yang berarti “meneruskan”, “menyerahkan”, atau mewariskan”.
Dalam KBBI, tradisi berarti kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Karena merujuk pada masa lalu, kerap tradisi diabaikan dalam kehidupan masa kini. Tradisi dianggap usang bahkan kuno, tidak relevan dengan keadaan sekarang.
Di sini agaknya kita perlu membedakan antara tradisi dengan tradisionalisme. Tradisi berisi pengalaman dan nilai masa lalu yang diakui turut membentuk hidup kita di masa kini. Tradisionalisme adalah mempertahankan atau menganggap masa lalu sebagai kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat.
Iman kristen adalah iman yang menghargai masa lalu, namun tidak menganggap masa lalu sebagai sebuah kebenaran mutlak. Atau, dalam bahasa Jaroslav Pelikan, tradisi adalah iman yang hidup dari orang mati, sedangkan tradisionalisme adalah iman yang mati dari orang hidup.
Penulis Ibrani mengajak umat – yang berlatar belakang keyahudian- untuk berdialog dengan tradisi keyahudian yang telah mengasuh mereka. Ibrani 1:1-4 menjelaskan secara ringkas-kronologis dasar pemikirannya. Penulis lbrani menunjukkan karya Allah telah terjadi di masa lalu melalui perantaraan para nabi.
Kini karya Allah itu hadir melalui perantaran Sang Anak, Kristus, yang telah sejak awal ada dan berkuasa. Dalam tradisi ada karya Allah, namun tradisi perlu membuka diri pada kebaruan, yaitu dalam diri Yesus Sang Pengantara sejati.
Dalam ibadah minggu biasa ini, umat memiliki kesempatan untuk mendengar khotbah semacam pengajaran dan belajar dari “dialog antara pemahaman imam besar Yahudi dengan Imam Besar dalam diri Yesus Kristus. Dialog ini diharapkan membuat umat mampu mensyukuri karya keselamatan dari Sang Imam Besar Yesus Kristus sekaligus nenghormati tradisi yang hidup dari masa lalunya.
Secara praktis rasa syukur tersebut dapat berwujud di dalam kehidupan keluarga mereka masing-masing. Di mana sesama anggota keluarga dapat saling merengkuh satu sama lain dalam pimpinan Kristus. (Dian Penuntun Edisi 32).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- PKJ 17:1-2
- Mazmur 91:9-16 (C)
- KJ 467:1-3
- NKB 94:1,3
- PKJ 146:1,3
- KJ 318:1-2
Tinggalkan Balasan