Renungan Minggu, 31 Oktober 2010
Makna “krisis” sering dipahami sebagai suatu situasi yang tidak stabil dan berbahaya bagi seseorang atau sekelompok orang khususnya dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan militer. Dalam situasi krisis, sebenarnya seseorang berada dalam masa pengujian (testing time). Apabila dia mampu melewati masa pengujian tersebut dengan baik, maka dia akan mampu menapak ke tingkat mental dan rohani yang lebih tinggi.
Namun sayang sekali makna “krisis” sering dilepaskan dari situasi dosa yang membelenggu kehidupan seseorang atau umat. Padahal realitas dosa merupakan akar segala krisis. Bila hidup kita dikuasai oleh dosa, maka kita berada dalam situasi krisis yang membahayakan seluruh hidup dan keselamatan kita. Krisis karena dosa lebih buruk dan berbahaya dari semua jenis krisis apapun juga. Sering kali kita tidak sadar bahwa kita telah berada didalam kondisi krisis spiritual.
Seperti kondisi umat Israel yang dicatat dalam kitab Yesaya pasal 1 lebih mengutamakan ritualisme dan persembahan. Mereka tidak menyadari bahwa mereka tengah berada didalam kondisi krisis, mereka menganggap bahwa semakin banyak mereka mempersembahkan korban kepada Allah, maka secara otomatis Allah akan mengampuni dosa dan kesalahan mereka. Justru sebaliknya Allah menolak mereka. Pembaruan hidup bukan dibangun melalui persembahan dalam jumlah yang besar, tetapi seharusnya dengan sikap pertobatan. Bila umat bertobat, maka Allah berjanji: “sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba”.
Demikian pula sikap umat percaya yang sering beranggapan bahwa dengan mengikuti langkah Kristus dengan setia telah menjamin keselamatan dan pengampunan Allah. Padahal tindakan mengikut Kristus harus diikuti pula dengan pertobatan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Zakheus yang dengan tulus melepaskan segala harta milik yang telah kita ambil secara tidak halal. Zakheus memperlihatkan kerinduan dan kebutuhan akan seorang Juru-selamat dan bersedia diubah hidupnya oleh Kristus.
Itu sebabnya kepada orang-orang seperti Zakheus, Tuhan Yesus berkata: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham” (Lukas 19:9). Di dalam Kristus, krisis berhasil diubah menjadi peluang yang membebaskan dan menyelamatkan. Jadi bagaimanakah sikap Saudara sekarang? Kiranya Tuhan menolong kita.
Tinggalkan Balasan