Renungan Minggu, 12 Juni 2016
Kebencian dan penolakan menjadi potret kehidupan saat ini. Ditolak karena berasal dari suku Tionghoa, Batak, Sunda, dll. Ditolak karena beragama Kristen, Islam, Hindu, Budha, dll. Ditolak karena miskin, bodoh, dianggap kafir, najis atau orang berdosa. Setiap hari bentuk penolakan demi penolakan terjadi dalam kehidupan bersama kita semakin kuat semakin ditularkan kepada orang lain. Bahasa cinta menjadi komersial, artifisial, tidak terwujud dalam relasi. Di tengah situasi yang demikian bacaan Injil Lukas mengajak kita untuk membentuk komunitas cinta kasih yang bersedia menerima, tanpa batas, tanpa sekat dan seleksi. Inilah panggilan hidup umat-Nya, menghadirkan tindakan kasih dalam penerimaan, membangun komunitas cinta kasih.
Dalam kehidupan sosial pada masa itu seorang perempuan, adalah sosok yang tidak diperhitungkan, nama mereka seringkali diabaikan bahkan tidak disebut, kegagalan mereka menjadi stigma, kehadiran mereka menjadi pelengkap kaum pria. Apalagi jika ia (perempuan) adalah seorang perempuan yang berdosa, maka ia dapat dikategorikan sebagai sampah masyarakat.
Dalam bacaan Injil hari ini mengisahkan sosok seorang perempuan yang berdosa, kemudian mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal harganya. Sebagai seorang pelacur, yang suka menjajakan tubuh untuk kepuasan kaum lelaki. Tubuh yang dilecehkan, tubuh yang berdosa, tubuh yang menjadi hina karena pekerjaannya, kini dipersembahkan kepada Yesus. Itulah sebabnya orang Farisi membatin, jika ia seorang nabi pasti dia tahu perempuan macam apa yang menjamahnya (ayat 39) seharusnya Yesus menolak dijamah oleh tubuh yang telah dipersembahkan kepada kenajisan pelacuran. Seharusnya Yesus menunjukkan sikap sebagai orang kudus, orang baik-baik, tidak mau bersentuhan dengan kenajisan tetapi Yesus membiarkannya.
Tindakan Yesus membiarkan apa yang dilakukan perempuan yang berdosa ini menunjukkan bahwa Yesus menyambut perempuan tersebut, memulihkannya. Yesus pun berkata pergilah dengan selamat. Pergilah dalam pemulihan Allah (selamat, BIS: damai). Yesus mengutus perempuan tersebut dengan keyakinan untuk menjalani hidup dalam kedamaian, keselamatan dan berkat Allah. Kiranya sikap Yesus menjadi sikap kita, agar kita menjadi komunitas yang penuh dengan cinta kasih. (Dian Penuntun, Edisi 22).
Tinggalkan Balasan