Renungan Minggu, 5 September 2021
Konon era keemasan Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) sudah lewat (Hojot Marluga, Mentally Fortitude). Kini, yang lagi trend Adversity Quotient (AQ) atau kecerdasan daya bertahan atau ketabahan. Kenyataan membuktikan, memiliki kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual tanpa dibarengi dengan ketabahan untuk mengupayakan sebuah idealis akan kandas di tengah jalan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menyaksikan banyak orang cerdas pandai, punya visi misi hebat, strategi luar biasa, iman yang meyakinkan. Namun, sering kandas di tengah jalan. Tidak mencapai apa yang diharap. Imannya kandas di tengah jalan! Mengapa? Karena kebanyakan orang enggan bertahan menghadapi kesulitan. Tidak tahan menderita! Bukankah beberapa kisah dalam perjalanan bangsa Israel menggambarkan kondisi seperti itu? Israel lebih banyak berkeluh kesah. Mereka marah, memberontak oleh karena tidak tahan menghadapi kesulitan. Keyakinan bahwa Tuhan yang memelihara pudar di tengah jalan oleh karena kemelut hidup yang harus dihadapi.
Paul G Stoltz (Adversity Quotient) membedakan tiga tingkatan daya kecerdasan daya tahan. Pertama, Quiters: Adalah orang yang berhenti ketika kesulitan datang. Dia berhenti dan langsung menyerah. Selanjutnya, putus asa! Tingkat kedua, Campers: sifat seorang yang berkemah. Bisa disebut sifat orang yang memiliki daya tahan sedang-sedang saja. Puas dengan apa yang sudah dicapainya. Kelompok ini adalah orang-orang yang tidak menyukai tantangan.
Terakhir, Climbers: sifat seorang pendaki gunung. Climbers adalah orang yang memiliki AQ tinggi dengan kemampuan dan kecerdasan untuk dapat menghadapi kesulitan. Menjadikan kesulitan sebagai kesempatan.
Apa yang dikemukakan Stoltz dapat kita jumpai di dalam kehidupan jemaat. Ada orang-orang yang memilih untuk berhenti dari sebuah pelayanan oleh karena tidak tahan menghadapi kesulitan. Bahkan berhenti berharap oleh karena tidak tabah dalam pengharapan.
Dalam bacaan pertama Minggu ini betapa sang nabi harus terus mengingatkan Israel untuk tidak berhenti berharap. Pembuangan memang menyakitkan, namun ketika mereka mampu bertahan, mereka akan melihat pemulihan itu bakal terjadi. Sebentar lagi mereka akan melihat pemulihan itu terjadi. Yang diminta Sang Nabi hanya satu, bahwa umat TUHAN itu jangan tawar hati (Yesaya 35:4). Hal ini sangat berbeda kalau dibandingkan dengan perempuan Siro-Fenesia (bacaan ketiga). Kita dapat menemukan gambar ketabahan yang begitu baik ketika ia memperjuangkan pemulihan bagi anaknya. (Dian Penuntun Edisi 32).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- NKB 7:1&6
- Mazmur 146:1-8
- KJ 445:1-2
- KJ 253:1-2
- KJ 444(2x)
- KJ 413:1-2
Tinggalkan Balasan