Renungan Minggu, 6 Oktober 2013 – Perjamuan Kudus
Sinonim ‘ketaatan’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepatuhan, kesetiaan dan kesalehan. Dengan melihat sinonim kata tersebut, agaknya kita bisa mengatakan bahwa ada korelasi antara kesalehan dan ketaatan. Hal itu menghasilkan sebuah kesimpulan logis: penanda kesalehan seseorang tampak melalui ketaatannya pada kesepakatan bersama atau hukum yang berlaku. Ketaatan semacam ini menghasilkan kesadaran bahwa taat itu baik bagi kehidupan bersama, dalam kerangka memuliakan Tuhan.
Memang dalam realitas, banyak juga orang yang taat karena takut. Model semacam ini menghasilkan orang-orang yang berani melanggar peraturan selama ia merasa sang penjaga peraturan tidak ada. Seperti seseorang yang melanggar rambu lalu lintas dengan menerobos lampu merah. Ketika ditangkap oleh polisi, ia ditanya: “Apakah Anda tahu, bahwa lampu tanda lalulintas berwarna merah telah menyala?” “Tahu, pak” jawabnya. “Lalu mengapa Anda tetap menerobos?” Selidik polisi lagi. “Maaf pak. Yang saya tidak lihat bapak yang berdiri di sini …”
Jika kemudian ketaatan menjadi langka, kita seharusnya berefleksi, apa yang terjadi dengan kesalehan kita? Sebab, bukankah selama ini ibadah (bersama) – yang sering dianggap sebagai bukti kesalehan – umat beragama di Indonesia selalu saja disesaki oleh umat? Jika kemudian perilaku orang yang tampak saleh itu jauh dari taat, itu berarti ada persoalan besar dengan ibadah kita. Sebab, ibadah ternyata tidak menghasilkan orang-orang yang taat. Ketidaktaatan ditandai dengan berbagai pelanggaran di segala bidang. Lihatlah kasus korupsi yang makin merajalela. Hal itu terjadi bukan karena tidak adanya hukum, akan tetapi hukum justru dipakai untuk melegitimasi pelanggaran! Langkanya ketaatan seharusnya mendorong kita untuk mawas diri dengan ibadah kita. Sudahkah ibadah itu dilakukan dengan kesungguhan hati, atau hanyalah supaya kelihatan seperti orang penuh bakti? (Dian Penuntun edisi 16, hal. 221-222).
Tinggalkan Balasan