Renungan Minggu, 31 Oktober 2021
Pada 31 Oktober 1517, Martin Luther menyampaikan 95 dalil yang mengubah wajah gereja. Konon 95 dalil itu dipakukan di pintu masuk gereja-istana di Wittenberg. Tindakan Luther itu dipicu oleh kegiatan penjualan surat penghapusan siksa dan dosa (id-ulgensia). Promosi unik ditampilkan salah satunya oleh Johan Tetzel seorang Dominikan dengan kalimat menggelitik, “Kalau uang berdenting di dalam peti, melompatlah jiwa itu ke dalam sorga!” dan “Belum pernah rahmat sebesar ini ditawarkan Gereja dengan harga semurah ini!” Atas tindakan gereja itu, Luther mengajukan kritik keras yang pada awalnya ditujukan kepada Margrave Albertus Brandenburg, uskup Mainz dan Magdeburg.
Boleh dikatakan tindakan Luther itu merupakan buah pergumulan iman yang telah berlangsung panjang. Luther mengalami kegalauan karena memikirkan pengadilan Allah yang menakutkan. la gelisah dengan keselamatan jiwanya. Hidupnya dipenuhi dengan pertanyaan bagaimanakan aku bisa mendapat suatu Allah yang rahmani? Kegelisahan dan rasa takutnya diungkapkan dalam refleksi atas misa pertama yang ia jalani. Kata Luther, “Siapakah saya, seorang kerdil yang kecil lagi hina ini, berani berkata saya menginginkan ini, saya meminta itu? Sebab saya hanyalah debu, abu, penuh dengan dosa dan saya berbicara kepada Allah yang hidup, abadi dan benar (lih. Eddy Kristiyanto, Martin Luther, Musa Jerman).
Untuk menjawab kegelisahan dan kegersangan rohaninya, berbagai disiplin rohani ia lakukan, namun perasaan itu tidak juga hilang dari dalam dirinya. Pergumulan itu pada akhirnya terjawab melalui pembacaan Kitab Suci. Luther menemukan “pencerahan saat membaca Roma 1:16-17. Dari sanalah ia mendasarkan teologinya dengan menempatkan Kitab Suci dan Yesus Kristus sebagai pusat yang kemudian populer dengan apa yang disebut trias sola: sola gratia, sola fide, dan sola scriptura.
Bagi Luther, Alkitab adalah dasar dari kehidupan iman. Dalam dalil ke 62 (dari 95 dalil tadi) Luther mengatakan harta gereja yang sejati adalah lnjil Suci tentang kemuliaan dan anugerah Allah. Itu sebabnya ia menentang hal-hal yang tidak dinyatakan dalam Kitab Suci. Dalam perdebatannya dengan Johann Eck di Leipzing, Luther mengatakan: “Bukan kuasa Roma atau Inkuisisi yang berhak menetapkan pokok-pokok yang baru tentang iman. Tak ada orang Kristen yang dapat dipaksa di luar Kitab Suci, oleh hukum ilahi kita dilarang untuk percaya apa saja yang tidak ditetapkan oleh Kitab Suci atau wahyu yang jelas” (lih. Anwar Tjen, Di Sini Aku Berdiri).
Minggu biasa ini bertepatan dengan hari reformasi, karena itu adalah baik jika kita memberikan apresiasi pada karya para retormator khusus Martin Luther dengan mengajak kita untuk memusatkan iman kita pada Kitab Suci sebagaimana yang menjadi salah satu pokok teologi reformasinya. (Dian Penuntun Edisi 32).
Tinggalkan Balasan