Renungan Minggu, 23 Oktober 2016
Menjadi seorang Kristen, bukanlah akhir dari sebuah proses beriman. Selesainya kelas katekisasi bukan berarti berhentinya pelajaran iman. Memasukkan anak-anak ke sekolah minggu bukanlah menggantikan peran orang-tua untuk menjadi teladan iman bagi anak-anaknya. Mengikuti ibadah minggu bukanlah cara bayar hutang kepada Tuhan. Kekristenan adalah proses membuka hati dan menjalin relasi dengan Allah yang Mahahadir.
Menjalin relasi dengan Allah bukanlah ketika kita membenarkan diri di hadapan Allah, lalu menyingkirkan mereka yang kita cap “berdosa”. Allah mendekatkan diri kepada orang yang memohon belaskasihan.
Seringkali masyarakat atau bahkan gereja memiliki stigma-stigma negatif tertentu terhadap manusia yang mendapat cap “berdosa”. Stigma tersebut dikaitkan pada pekerjaan atau posisi kehidupan atau bahkan menyangkut suku, agama, ras, dan golongan dari seseorang, misalnya: polisi merazia adalah mencari uang tambahan, penyanyi dangdut adalah penjual tubuh, penderita HIV adalah pendosa, orang gereja tertentu adalah sesat, agama lain itu kafir, dan sebagainya.
Begitu banyak stigma masyarakat yang dibuat terhadap sesama manusia, sehingga membuat manusia hidup berjarak dengan orang lain, menjatuhkan atau menghancurkan orang lain demi terlihat baik dan benar; stigma yang kemudian seakan membuat seseorang sah untuk melakukan kekerasan atau penyingkiran terhadap sesama manusia. Hal ini juga membatasi celah untuk seseorang mengenal orang lain secara lebih tepat dan adil.
Dalam Lukas 18: 9-14, Yesus memberikan perumpamaan untuk mengajar orang yang merasa diri benar. Yesus menyatakan bahwa Allah mendekatkan diri kepada mereka yang merasa jauh dari Allah dan memberi belas kasihan kepada mereka. Kedekatan relasi iman kita dengan Allah sepatutnya berbuahkan karakter belas kasihan saat memandang mereka “yang dianggap bersalah”.
Iman kepada Allah sudah sepatutnya berbuahkan belas kasihan terhadap sesama manusia. Paling tidak di dalam kehidupan keluarga, kita tidak memberikan stigma negatif apa pun terhadap orang lain, termasuk anggota keluarga kita sendiri, yang dipandang bersalah. Malah sebaliknya, kita tetap mau berelasi dengannya, memaafkannya, dan bahkan mendoakannya demi kebaikannya. (HY).
Tinggalkan Balasan