Renungan Minggu, 30 September 2016
Dari zaman ke zaman, manusia selalu bermimpi untuk dapat melakukan sesuatu yang dahsyat dan ajaib dan cenderung meremehkan hal-hal yang sederhana, yang justru dapat dilakukan dengan sangat baik oleh dirinya. Hal di atas dapat menjadi sebab hilangnya kemampuan seseorang untuk menghargai dan mengusahakan apa yang dapat ia kerjakan dengan baik, karena merasa tak cukup “wah”.
Seringkali kekeliruan tentang indikator orang beriman/tidak dikaitkan dengan kemampuan/ketidakmampuannya melakukan perbuatan dahsyat. Iman dihayati tak lebih semacam tongkat sihir yang dapat membuat ia dengan mudah melakukan ini dan itu bagi dirinya dan orang lain secara dahsyat dan instan.
Kisah hamba yang melayani tuannya makan terlebih dahulu, padahal ia sepanjang hari sudah bekerja, dalam Lukas 17:7-10 adalah sebuah gambaran yang menghantar para murid mengenai apa yang sepatutnya mereka lakukan sebagai orang beriman. Mereka sebagai hamba tugasnya adalah melakukan dengan tekun apa yang diperintahkan Tu(h)an-Nya kepada mereka. Beriman adalah melakukan kebenaran, mengusahakan kedamaian, menyatakan kemurahan hati dan menyampaikan kasih kepada orang-orang di sekitar setiap hari. Dan itu dapat dilakukan melalui berbagai perbuatan sederhana.
Melalui Perjamuan Kudus kita diingatkan bahwa keluarga yang beriman itu adalah keluarga yang setiap anggotanya bukan hanya mengasihi Tuhan namun juga mengasihi anggota keluarga satu sama lain, dengan tindakan nyata. (Dian Penuntun Edisi 22).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- KJ 4:1,5,6
- KPPK 18:1-3
- PKJ 270 (2x)
- KJ 240A:1-3
- KJ 287b
- KJ 174B
- NKB 154:1-3
Tinggalkan Balasan