Renungan Minggu, 10 Mei 2015 – Paskah VI & Mother’s Day
Kekristenan dikenal orang karena dua gagasan penting, yakni keselamatan dan kasih. Allah dijunjung, sebagai Sang Penyelamat, dan diyakini sebagai “Sang Kasih” yang memanggil manusia turut ambil bagian dalam karya kasihNya. Paskah merupakan peristiwa kasih yang mewujud dalam penderitaan, pengorbanan, kematian dan kebangkitan Tuhan. Kesatuan Bapa, Anak dan Roh Kudus mewujud dalam persekutuan kasih. Persekutuan orang-orang yang diselamatkan adalah persekutuan kasih. KasihNya menembus batas pemahaman manusia yang cenderung eksklusivistik. Persekutuan itu juga membuat manusia mampu menjadi sahabat-sahabat Allah, yang pada gilirannya menjadi sahabat bagi sesamanya dan seluruh ciptaan.
Karakteristik kasih adalah memberi ruang seluas-luasnya bagi orang lain untuk merengkuh eksistensi manusiawinya, dan bisa mengakses kesatuan dengan Allah. Sementara, kita tahu bahwa kecenderungan manusia pada umumnya adalah memberi ruang seluas-luasnya bagi diri sendiri, dan hanya membangun ruang kecil bagi orang lain dan Tuhan – sebagai ruang pemanis yang artifisial belaka. Dalam konteks hidup yang demikian, orang beriman dipanggil untuk tidak lelah menyerukan dan memberlakukan kasih dalam kehidupan mereka. Sebagai orang-orang yang diangkat menjadi sahabatNya, orang percaya dipanggil untuk merayakan kebangkitan Tuhan melalui (perwujudan) kasih.
Memang, kasih akan menjadi hal yang sukar jika kita hanya mengupayakannya dari diri kita sendiri. Namun, dengan intervensi Yang Ilahi – yang mengharuskan dan memampukan kita untuk mewujudkannya – kasih akan mewujud dalam hidup kita. Kasih dinyatakan tidak untuk mengubah orang, melainkan dalam rangka memberi ruang bagi orang lain untuk mengalami perubahan dalam hidup mereka. Kasih juga tidak ditujukan untuk membawa orang lain berada di posisi kita, melainkan untuk menemukan bahwa diri mereka sendiri dihargai sebagai sahabat Allah melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus. Kasih membuat setiap orang merasa diterima dan memiliki persekutuan yang abadi dengan Kristus, sehingga memiliki hidup yang rekonsiliatif.
Tinggalkan Balasan