Renungan Minggu, 24 April 2022 – Paskah II
Ajaran yang menolak kematian Yesus di kayu salib secara langsung menolak kebangkitan-Nya. Lalu penolakan akan kebangkitan Yesus menjadi penolakan akan kuasa Allah yang menyelamatkan dan mendamaikan. Dalam situasi itu umat manusia akan kehilangan pijakan keselamatan dan pengharapannya sehingga tetap hidup dalam belenggu kuasa dosa.
Salah satu bentuk kuasa dosa adalah trauma-trauma yang pernah dialami dan tidak dipulihkan kebangkitan Kristus sesungguhnya memulihkan setiap orang yang mengalami trauma dalam berbagai bentuk dan peristiwa serta PTSD (post-traumatic stress disorder). Lebih jauh lagi kebangkitan Kristus juga memulihkan manusia dari cognitive-dissonance (disonansi kognitif) yang menyebabkan seseorang melakukan pembenaran-pembenaran diri (rasionalisasi) dan sikap menghindar (avoidance) dari realitas persoalan.
Setiap kita pernah mengalami berbagai trauma. Kondisi PTSD dalam praktiknya menyebabkan berbagai kondisi mental dan spiritualitas yang tidak sehat. Sikap yang sensitif (mudah tersinggung) anxiety (kecemasan yang bekepanjangan), impulsif (didorong oleh insting), kompulsif (pikiran dan tindakan yang tidak bisa dikendalikan), guilty (dibebani rasa bersalah), dan berbagai perilaku yang tidak sehat.
Orang-orang yang beragama atau beriman ternyata tidak bebas dari kondisi mental akibat trauma. Bahkan sering orang-orang beragama mengalami kondisi yang lebih buruk karena keyakinan dan kepercayaannya tanpa dilandasi oleh sikap rasional dan faktual. Mereka terjebak melakukan pembenaran-pembenaran diri (rasionalisasi) yang disebab-kan oleh cognitive-dissonance (disonansi kognitif).
Serena Jones dalam bukunya yang berjudul: Trauma and Grace: Theology in a Ruptured World (2009) menguraikan bahwa efek trauma tidak lenyap karena perjalanan waktu, tetapi tetap membekas dan menimbulkan efek jangka panjang. Para korban merasa diri serba terancam dan cemas, tetapi tak berdaya untuk menghadapinya.
Dalam bukunya, Serena Jones membagi tulisannya dalam tiga bagian besar yang meliputi: traumatic faith (iman yang traumatis), crucified imaginings (imaginasi-imaginasi yang disalibkan), dan ruptured redeeming (penebusan yang retak). Dari istilah traumatic faith (iman yang traumatis) kita dapat melihat bahwa seorang beriman tetap rentan dengan trauma. Para murid Yesus dan jemaat perdana mengalami peristiwa trauma saat menyaksikan kematian Yesus di kayu salib.
Dalam terang kebangkitan Kristus, kita perlu menyalibkan imaginasi-imaginasi traumatis sehingga dipulihkan menjadi manusia baru. Kristus yang wafat dan bangkit adalah Tuhan yang memampukan kita mengalami kerahiman dan kasih Allah yang tanpa akhir. Ia setia dan mengasihi kita walau kita sering menolak dan memilih hidup dalam belenggu traumatis di masa lalu. Dengan kelembutan kasih Kristus. Allah membawa kita keluar dari belenggu trauma menuju masa depan yang penuh pengharapan. (Dian Penuntun Edisi 33).
Tinggalkan Balasan