Renungan Minggu, 20 Agustus 2017
Kualitas kasih seseorang terlihat dari kasihnya kepada orang yang dianggap lemah, tidak berdaya, dan tersisihkan. Jika seseorang hanya mampu mengasihi orang yang kaya, kuat, hebat, berkuasa atau baik kepada dirinya, kasihnya tersebut bukanlah kasih yang berkualitas. Kasih seperti itu biasanya kasih yang mengharapkan balasan. Mengasihi untuk dikasihi atau untuk mendapatkan balasan. Sebaliknya apabila seseorang mampu mengasihi orang yang tidak berdaya, tersisih, dianggap hina, atau dianggap najis secara agama, maka kasihnya adalah kasih yang berkualitas. Kasih demikian pasti tidak menuntut imbalan. Kasih seperti itu juga sulit dilakukan sebab mengharuskan seseorang keluar dari rasa nyaman. Sebab, mengasihi orang yang berada dalam ketidaknyamanan menuntut seseorang keluar dari rasa nyaman.
Allah di dalam Yesus Kristus memiliki kasih tersebut. Allah mengasihi orang yang dianggap najis secara agama. Allah mengasihi orang yang dianggap tidak pantas atau hina. Allah mengasihi orang yang dianggap tidak berdaya. Itu telah Allah tunjukan kepada umat-Nya untuk mengasihi mereka yang diperlakukan tidak adil, tersisih, najis secara agama. Allah ingin agar keselamatan dari-Nya yang telah mereka terima, diwujudkan dalam ucapkan syukur dengan mengasihi mereka yang dianggap tidak pantas dikasihi. Panggilan ini relevan diwujudkan di tengah kecenderungan umat beragama di Indonesia yang mudah mengkotak-kotakkan manusia dalam kategori kami dan mereka, suci dan tak suci, mulia dan hina, yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan apakah seseorang layak dan tidak layak menerima kasih-Nya. (Dian Penuntun Edisi 24).
Tinggalkan Balasan