Renungan Minggu, 26 Oktober 2014 – Bulan Keluarga
Kasih setia Tuhan merupakan esensi dari perjanjianNya – yang bersifat mengikat – dengan para leluhur Israel, umatNya. Kasih setia Tuhan inilah yang menjadi daya dorong, baik bagi Abraham, Ishak maupun Yakub, untuk menjalani hidup dengan setia dan taat kepada apa yang diperintahkan Tuhan. Tuhan menyediakan berkat untuk Abraham, baik dalam bentuk tanah maupun keturunan, sejak ia dipanggilNya; begitu juga dengan penyertaan dan perlindunganNya, Kejadian 12:1-3. Tidak berlebihan, jika Tuhan memerintahkan agar setiap umat perjanjianNya hidup dengan penuh ketaatan, tekun menjalaninya sebagai tanda kesetiaan, dan dengan rasa syukur bahwa Tuhan itu baik.
Musa adalah sosok yang dipersiapkan Tuhan untuk membawa Israel keluar dari perbudakan Mesir, dan hidup merdeka untuk berbakti sebagai umat Allah, dengan penuh rasa hormat dan syukur. Tiga tahap pembentukan dalam hidupnya membuat Musa tidak dapat mengingkari bahwa Tuhan itu baik dan setia. Empatpuluh tahun pertama di istana firaun mengajarkan kepadanya bagaimana seharusnya seorang penguasa memimpin. Dan, empatpuluh tahun kedua, sebagai buronan firaun dan menjadi penggembala kambing domba mertuanya, mengajarinya bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku sebagai pelayan yang setia.
Kemudian, empatpuluh tahun terakhir, Tuhan memakainya sebagai pemimpin yang melayani, untuk membawa orang Israel keluar dari perbudakan Mesir dan mewarisi negeri perjanjianNya. Banyak catatan perbuatan Musa yang mengakar pada karakter yang telah dipulihkan Tuhan. Tidak heran jika Ulangan 34 menegaskan perihal sosok Musa sebagai orang yang dikenal Tuhan , diurapi, dan disertaiNya dengan berbagai tanda dan mujizat (ayat 10-12). Meski posisi Israel masih di timur sungai Yordan, karena belum memasuki tanah perjanjian – Kanaan – yang dijanjikanNya, Musa tetap setia kepada apa yang Tuhan pernah katakan. Sedikit pun dia tidak meragukannya. Apa yang membuatnya bersikap demikian?
Mazmur 90 dapat menjadi petunjuk mengapa Musa tetap memelihara kasih setia Tuhan. Musa mengakui bahwa hidup manusia sejatinya hanyalah debu. Jika debu dipakai Tuhan untuk menjadi alat kemuliaanNya, sewajarnya manusia yang berasal dari debu memperhatikan apa yang patut dipahami, sekaligus membekali diri dengan cukup. Bagi Musa, kesempatan adalah sarana untuk membuat hatinya peka, dan menjadikan diri – yang “hanya debu” – menjadi bijaksana untuk menggenapkan panggilan, dan berhasil. Dengan demikian, keberhasilan dalam karya memimpin Israel semata bersumber pada Tuhan, dan bukan manusianya, Musa. (Dian Penuntun edisi 18, halaman 201 – 202).
Tinggalkan Balasan