Renungan Minggu, 12 Oktober 2014 – Bulan Keluarga
Beriman, untuk kepentingan siapa? Sebagai orang-orang beriman, kita percaya kepada, dan menyembah, Allah yang memperkenalkan diriNya sebagai Yesus Kristus, dan yang ke dalam dunia. Dengan iman, kita menyembah dan memuji Allah. Tetapi, menjadi sebuah pertanyaan – ketika kita memikirkan menganai hal beriman ini: untuk siapakah kepentingan beriman itu? Untuk kepentingan Allah, atau manusia? Iman adalah titik temu, atau perjumpaan, kehidupan manusia di hadapan Allah. Titik temu ini terus-menerus memproses kehidupan kita sebagai manusia, yang membutuhkan hikmat untuk menjaga keseimbangannya sehingga perjumpaan itu dapat terus terjadi.
Tetapi, ada kalanya beriman menjadi kepentingan ‘saya’ sebagai manusia, sehingga kita memperlakukan kehadiran Allah sesuai dengan keinginan diri sendiri yang berfokus pada egosentris. Dalam kondisi seperti ini maka pelayanan, berkat, bahkan seluruh kehidupan dilihat dari sisi kepentingan saya. Misalnya, dengan klaim bahwa sudah seharusnya Allah memberkati kita, bergereja adalah untuk memperoleh berkat, atau bahwa saya mesti lebih unggul dari semua orang. Semua pemahaman ini perlu dicermati, karena dapat berdasar pada sebuah pemahaman beriman untuk kepentingan diri ‘saya’. Dalam iman kepada Allah, kita mempercayai bahwa iman adalah perjumpaan antara Allah dan manusia; kesadaran akan kehadiran Allah sang Penguasa, Khalik, Pemilik kehidupan ini. Jadi, beriman seharusnya disadari sebagai proses menyelaraskan diri dengan Sang Penguasa kehidupan.
Dalam kehidupan sebagai umat beriman, terkadang kita terjebak dengan menghadirkan Allah ‘sesuka’ kita, atau untuk kepentingan kita, bahkan kemudian menggeser kehadiran Allah yang sejati dengan berbagai hal lain yang kita pikir dapat menjadi pegangan kita. Karenanya, kita jadi terjebak dalam penyembahan terhadap ilah-ilah palsu, dan berjarak dengan Allah yang sejati. Sebagai manusia, kita memang memerlukan simbol, ekspresi, ataupun sosok kehadiran yang dengan mudah dapat kita kenali dengan indera tubuh kita, tetapi –mari kita sadari- betapa terbatasnya inderawi manusia untuk mengenal Allah. Dengan kesadaran itu, kita dapat terhindar dari sikap-sikap menyembah benda-benda, atau orang-orang tertentu. Contoh jelasnya adalah sikap kita terhadap salib.
Dalam ibadah hari ini, kita kembali menghayati kesadaran mengenai fokus kita dalam beriman kepada Allah yang sejati. (Dian Penuntun edisi 18, halaman 183 – 184).
Tinggalkan Balasan