Renungan Minggu, 19 Desember 2010
Imanuel, Allah beserta kita. Slogan yang manis bagi orang-orang yang kesepian, merana dan sengsara. Apakah artinya Allah yang kita sembah adalah Allah Imanuel?
Saya ingat sebuah kenangan masa kecil, ayah saya memberikan sepeda baru. Senang sekali hati ini rasanya, meskipun belum dapat mengendarainya, hadiah sepeda tetap menjadi sebuah hadiah yang sangat membahagiakan. Ayah berjanji akan mengajari saya mengendarai sepeda.
Pagi yang dinanti tiba. Ayah menyuruh saya mengendarai sepeda itu, sementara ia memeganginya dari belakang. Dengan kekuatan tangannya, saya dapat menaiki sepeda itu tanpa terjatuh atau miring ke kiri atau ke kanan. Saya mengendarai sepeda itu dengan besar hati dan sukacita, karena berpikir bahwa saya tidak mungkin terjatuh; ayah menyertai saya di belakang dan pasti tidak akan membiarkan saya terjatuh. Saya mengayuhkan pedal sepeda semakin cepat. Ayah yang mengikuti dan memegang sepeda saya dari belakang juga semakin cepat berlari. Nafasnya yang tersengal-sengal terdengar di telinga saya.
Saya merasa nyaman dan bangga sekali berada di atas sepeda baru. Dengan dada membusung saya mengayuh pedal dan percaya bahwa ayah tetap ada di belakang saya. Setelah beberapa lama, sesuatu terjadi …. Saya melihat ke kaca spion. Ternyata ayah saya tidak lagi memegangi belakang sepeda saya. Ia berdiri jauh sambil mengamati saya yang rupanya sudah bisa mengendarai sepeda sendiri tanpa dipegangi. Saya terkejut sekali dan rasa ketakutan mulai menyeruak masuk ke dalam hati ketika mengetahui bahwa ayah tidak menyertai saya lagi. Dada yang membusung mulai membungkuk ketakutan, tangan yang kuat memegang setir sepeda mulai goyah dan akhirnya … sepeda saya meluncur ke kanan dan menabrak orang.
Sekalipun saya berada di jalan yang aman. Saya takut bahaya, karena ayah tidak menyertai saya. Kalimat ini berbeda sekali dengan pernyataan Daud dalam Mazmur 23, ”Sekalipun aku berada dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.”
Tinggalkan Balasan